Sendiri sudah biasa, tapi kesendirian luar biasa. Bisa membuat mati rasa.
Aku tengah memeluk guling di atas ranjang kamar ku dan fokus dengan tontonan di televisi saat sebuah panggilan dari nomor yang sudah lama tidak menghubungi ku. Sejenak aku diamkan panggilan itu. Memastikan jika panggilan itu bukan salah pencet atau semacamnya. Hampir 10 detik aku diamkan dan panggilan itu masih meminta untuk diangkat.
"Halo." jawab ku pelan.
"Hi! Apakabar?" ucap suara di seberang.
"Sehat. Ada yang bisa aku bantu?" tanya ku ragu.
"Yup. Aku butuh bantuan mu. Aku boleh ke rumah mu?"
"Aku lagi gak di rumah."
"Terus dimana?"
"Di Jogja."
"Kerja?"
"Yup."
"Ok. Besok aku ke Jogja ya nemuin kamu."
"Emang kamu lagi dimana sekarang?"
"Jakarta."
"Lah. Kamu mau ada kerjaan di Jogja?"
"Enggak. Aku ke Jogja mau ketemu kamu."
"Bentar. Emang ketemu mau minta bantuan apa?"
"Kenapa? Kamu gak mau bantu aku?"
Aku terkekeh.
"Malah ketawa." suara diseberang terdengar sedikit kesal.
"Abisnya kamu lucu."
"Lucu kenapa?"
"Kita tu udah hampir 5 tahun gak ada kontak. Terus sekarang tiba-tiba kamu mau nemuin aku di Jogja buat minta bantuan. Emang kamu mau minta bantuan apa sampek harus nyamperin aku ke sini?"
"Kamu kok kayak gak suka gitu aku minta bantuan kamu?"
"Bukannya gak seneng. Aku seneng banget kalau bisa bantu kamu. Tapi aku pengen tau aja kamu perlu apa sampek jauh jauh nyamperin aku ke Jogja?"
"Ya udah kalok gitu. Bagus. Aku jelasinnya kalau udah ketemu aja. Gak enak kalau di telpon."
"Ok. Aku pikir kamu masih di Jepang."
"Udah satu mingguin ini aku di Jakarta."
"Pindah kerja?"
"Belum mutusin."
"Ok. Aku jujur bakal seneng banget kalau aku bisa bantu kamu. Tapi aku bener-bener gak mau kamu repot atau bahkan boros. Kalau emang aku bisa bantu tanpa harus bikin kamu ke Jogja, I'll do it and I'll happy for it."
"Kamu tu masih aja peritungan."
"Hey, being adult is not that easy. Harus bijak dalam keuangan dong."
"Iya ibu menteri keuangan."
"Yeee malah diledek."
"Tenang. Aku pastiin kalau aku ke Jogja itu gak nguras duit tabungan ku."
"Glad to know. I'll wait for you here."
"Ok. See you!"
"Ok. Take care."
Panggilan selesai. Barusan Nico yang menelpon. Teman lama. Orang yang dulu aku suka dan kini aku harap bisa menjadi istirnya.
***
Di sudut cafe Jogja.
"Hai Ta!" seseorang memanggil nama ku. Sontak aku memalingkan pandangan ku dari majalah yang tengah aku baca ke arah sumber suara itu.
"Sorry, udah nunggu lama ya?" Nico sudah duduk satu meja dengan ku.
"Belom kok." jawab ku sambil meletakkan majalah yang tadi tengah aku baca di meja.
"Kamu mau pesen apa? Udah makan?" tanya Nico bersemangat.
"Aku ikut kamu aja."
"Ok. Kita pesen ikan bakar aja ya. Nanti kelar makan berat, kita pesen eskrim buat penutup nya. Gimana?"
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Semua manakanan itu kesukaan ku!
"Kok keliatan seneng banget gitu sih?" tanya Nico setelah selesai mendikte kan pesanan nya ke karyawan cafe yang tampak terpesona dengan tampilan Nico.
"Gak papa. Aku masih gak percaya aja kalau sekarang kamu di sini. Makan bareng sama aku."
"Masak siiii." ledek Nico.
"Aku masih inget terakhir kita kontakan karena ribut masalah duit. Lucu aja."
"Udah deh gak usah ngomongin masa lalu. Yang udah ya udah. Sekarang kan aku udah di sini. Sehat. Punya duit. Jadi gak akan ngributin masalah duit lagi sama kamu."
Aku tersenyum mendengar kalimat Nico.
"Ok. Jadi aku bisa bantu kamu gimana?" tanya ku.
"Besok kamu libur atau ada acara?"
"Sabtu Minggu aku libur."
"Baguslah. Aku mau minta temenin kamu ke luar kota Jogja."
"Luar kota Jogja?"
"Ke Magelang sama Wonosari."
"Boleh."
"Ok. Besok pagi aku jemput kamu ya."
"Ok."
"Kamu kos atau tinggal sama sodara?"
"Kos."
"Ok. Besok shareloc ya."
"Yup."
"Kalau kita kemaleman, nginep gak papa ya di Magelang."
"Emang rencana bakal lama?"
"Belum tau. Tergantung bisa nemu nya cepet atau enggak. Dan pas atau enggak nya."
"Ok. Emang kamu mau ngapain di Magelang?"
"Aku ada janji sama orang."
"Ok."
"Kamu keliatan kurusan."
"Hehehe. Aku seneng loh dibilang kurusan."
"Kamu lagi banyak pikiran kah?"
"Enak aja. Bukan karena pikiran loh. Tapi emang ngurangin makan aja."
"Kamu jomblo kan?"
"Terus. Kalau jomblo gak boleh diet?"
"Ya enggak. Biasanya kan orang mau kurus buat nyenengin pasangannya."
"Enggak. Aku mah kurus biar kalok poto bagus. Hahhaha."
"Kamu tu kalau udah jalan-jalan terus poto poto, feed ku penuh sama status mu."
"Hahhaha. Sabar ya pak. Kan mumpung masih bisa jalan jalan. Kalau dah nikah atau punya anak atau tua kan kayaknya gak bisa jalan jalan sambil poto poto gitu."
"Padahal jomblo, tapi udah bisa bayangin gimana besok kalau udah nikah ya."
"Yee, jomblo lama bukan berarti gak mau nikah dan gak bisa ngebayangin kayak gimana pernikahan."
"Ok. Ok. Percaya. Moga jodohnya segera dideketin sama Tuhan ya."
"Amiiinnn Ya Tuhannn."
"Serius banget ya aminnya."
"Harus dong. Emang kamu kapan nikah? Kayaknya waktu itu aku liet story IG mu kamu udah tunangan gitu kan. Calon mu cantik banget loh."
"Iya."
"Aku tu tanya kapan. Malah cuma dijawab 'Iya'. "
"Iya, mantan calon istri ku emang cantik." jawab Nico tidak dengan antusias.
"Wait. Kalian putus? Kenapa?"
"Gak tau kenapa."
"Ok. Gak papa kalau kamu gak mau cerita. Tapi sayang banget tau." gerutu ku.
"Kenapa sayang?"
"Ya kalian tu udah tunangan loh. Pasti kan udah banyak cocoknya."
"Jangan kan tunangan, pasangan yang pisah abis nikah juga banyak."
"Iya si."
"Kalok kamu tu, bener bener jomblo atau pura pura aja si?"
"Heh! apa untungnya pura pura jomblo. Umur juga makin tua. Malah tadinya aku bakal minta kenalin ke kamu. Kan temen mu banyak tu yang cakep cakep sama mapan. Udah capek kerja aku tu, pengen ada yang biayainnnnn"
"Beneran mau aku kenalin?"
"Ada?!"
"Hem. Semangat banget."
"Harus dong! Orang nya gimana? Kamu ada IG nya gak?"
"Ada."
"Mana??? Coba lietttt."
"Besok aja deh. Sekarang kita ngobrol yang lain dulu. Lagi males buka hp."
"Ish. Pelit banget sih."
"Biarin."
"Emang mau ngobrol apa an lagi. Jodoh tu topik termenarik buat diobrolin."
"Kerjaan aja."
"Kerjaan ku mah biasa biasa aja. Gak ada yang bisa diceritain."
"Keluarga mu gimana?"
"Sehat. Males ah ngomongin keluarga ku. Kalau keluarga mu?"
"Sehat juga."
"Udah kan. Gak ada yang bisa obrolin lagi. Emang kenapa si kalau bahas jodoh."
"Kamu masih pengen tinggal di luar negeri?"
"Emmm masih kayaknya."
"Kok kayaknya?"
"Aku udah males kalau ke luar negeri nya karena beasiswa. Aku pengennya ke luar negeri karena kerja atau karena diajakin suami ke sana. Hahahha. Pengen cari jalan pintas aja. Hahaha!"
"Dasar."
"Makannya! Kalik aja yang kamu mau kenalin ke aku itu mau juga ngajakin tinggal di luar negeri."
"Enggak. Temen ku mau nya di Jakarta aja. Deket sama orang tua kata dia."
"Waduh. Dia anak mama?"
"Satu-satu nya."
"Wow. Kayaknya bakal susah."
"Kenapa susah?"
"Aku takut saingan sama emaknya kalau nikah sama anak satu satu nya. Soalnya pastikan kesayangan banget."
"Aku juga anak satu-satu nya. Tapi aku bebas. Mama gak pernah nglarang nglarang."
"Yah, itu mah karena kamu nya aja yang emang susah diatur. Mamah mu pusing kalau kamu udah ada mau."
"Heheh. Tau aja. Eh, tapi sejak aku gagal nikah aku lumayan dengerin kata Mama loh."
"Kenapa?"
"Jadi Mama tu udah ada feeling kalau calon ku itu anaknya gak jujur. Dan ternyata beneran kejadian."
"Kamu diselingkuhin ya."
"Sama anak yang mau aku kenalin ke kamu."
"Heh! ngawur banget ya kamu. Ngenalin aku ke cowok perusak hubungan orang! Ogah. Mau dia tinggal di luar negeri sebelah mana juga aku gak mau. Batal! Gak mau aku kenalan sama temen mu. Suka aneh-aneh ya kamu kalau kasih ide."
"Oh ya Ta, aku minta maaf ya."
"Maaf kenapa?"
"Dulu aku itung-itungan banget ke kamu. Aku juga sempet blok kamu. Padahal apa yang kamu omongin ke aku itu bener. Maaf ya, aku dulu kayak bocah banget."
Aku diem sejenak. Kaget dengan permintaan maaf Nico.
"Sama sama Co. Aku juga harusnya gak ngomong kasar gitu ke kamu apapun alasannya. Sampek bilang kamu bekas temen." ucap ku sambil terkekeh.
Kami saling tersenyum. Memaklumi satu sama lain.
"Kamu nginep dimana?" tanya ku.
"Gak jauh dari ini. Di Sheraton."
"Wooow. Kaya raya lah ya pokoknya sekarang." ledek ku.
"Bisa aja kamu. Tapi ya bagus kan kalok aku kaya raya jadi gak ribut soal duit lagi."
Tawa kami pecah bersamaan.
Malam ini kami lewati dengan tawa cerita. Waktu yang hilang diantara kami seakan terlupakan dengan keakraban yang kembali terjalin diantara aku dan Nico. Lelaki yang masih aku harapkan bisa menjadi pasangan hidup ku.
***
Aku sudah duduk di bangku penumpang bersebelahan dengan kursi supir yang nantinya bakal Nico tempati.
Sambil menunggu Nico yang tengah membeli sesuatu di mini market dekat jalan raya, aku asik bermain dengan ponsel ku hingga aku mendengar suara ponsel berdering. Nico meninggalkan ponselnya di kursi nya. Sekilas aku melihat nama si penelpon 'Sita'. Mungkin dia mantannya Nico. pikir ku.
"Hey, sorry ya radak lama. Ngantri." ucap Nico yang sudah masuk ke mobil dengan membawa kresek belanjannya.
"Iya gak papa. Banyak banget belanjannya. Apaan aja?"
"Makanan. Buat ngemil di jalan. Aku juga beliin eskrim buat kamu."
"Widihhh aku kan jadi seneng."
"Iya dong, kamu harus seneng selama jalan sama akuuu."
"Ok, kita jalan sekarang!!"
Mesin mobil dinyalakan dan perlahan kami menelusuri jalanan raya Jogja menuju Magelang.
"Eh, tadi ada telpon."
"Oh ya? Kamu angkat gak?"
"Enggak lah. Emang aku siapa?"
"Ya kamu ya kamu."
"Tadi nama kontak nya Sita. Itu mantan mu ya?" tanya ku kepo.
"Hem."
"Ih pelit banget si jawabnya."
"Lagi males bahas dia aja."
"Emang dia ketahuan selingkuhnya kayak gimana? Jangan jangan kamu cuma nebak nebak aja."
"Iya kalik. Cuma perasaan ku aja dia selingkuh."
"Ish. Dasar pelit cerita."
"Cerita yang lain aja."
"Ya udah. Cerita soal calon temen mu yang mau kamu kenalin aku aja gimana?"
"Gak ada. Kalau mau ya yang kemarin, selingkungan mantan ku. Mau?"
"Dasar pelitttt."
"Wita."
"Hem."
"Aku tu udah pengen nikah."
"Ya sama."
"Ya udah, kita nikah aja yuk."
"Ngadi ngadi."
"Kenapa?"
"Ya aneh aja. Becanda mah boleh, tapi jangan becandain jodoh dong."
"Aku serius Wit. Aku lagi ngajakin kamu nengokin rumah yang bakal aku beli. Aku pengen tahu pendapat mu."
"Heh? Kamu serius?" aku terkekeh.
"Kamu gak suka sama aku?"
"Kamu yakin siap nikah sama aku?"
"Emang kamu kenapa?"
"Ya aku gini."
"Aku tau kamu dari dulu gini."
"Kamu yakin gak mau balikan sama mantan mu?"
"Nope. Sekali selingkuh ya udah."
"Tapikan kamu belum punya bukti kalau dia selingkuh."
Nico menghela nafas.
"Aku gak pengen kamu cuma cari pelampiasan aja. Maksud ku gak papa kalau kamu perlu seseorang buat ngelampiasin kecewa mu, tapi tu gak akan cukup buat bikin kamu bener bener tenang. Karena sebenernya kamu belum tuntas sama perasaan mu ke mantan mu. Jadi pelampiasan bukan jalan keluar Nic." ucap ku santai sambil membuka salah satu snack yang tadi Nico beli.
Nico tidak menanggapi omongan ku. Dia menatap serius jalanan.
"Siapa si cewek di dunia ini yang gak pengen diajak nikah. Semua pengen. Aku juga gitu Nic. Aku tu udah capek sendiri terus. Gak ada yang merhatiin. Gak ada tempat berbagi. Gak ada tempat ngeluh. Ketemu nya cuma sama cowok yang manfaatin doang. Aku capek banget ih. Belakangan aku ngobrol sama temen lama ku. Dia nyaranin satu cara biar aku dapet jodoh."
"Apa an?" tanya Nico mulai merespon cerita ku.
"Minta sama tuhan di sepertiga malam."
"Oh."
"Kok cuma oh?"
"Berat."
"Iya si. Emang berat. Huft. Abis nya aku udah bingung mau pakek cara apa lagi."
"Semangat ya."
"Jadi tawaran kamu yang tadi gimana?"
"Ya kata mu aku perlu nuntasi dulu perasaan ku."
"Iya si. Jadi dicancel apa pending tawaran yang tadi?"
"Gak tau."
"Hem, padahal kalok nikah sama kamu kan gampang ya. Gak perlu kenal kenalan lagi."
Nico diam. Dia kembali tidak menggubris ucapan ku. Aku terus mengunyah jajanan ku sambil menikmati jalanan yang sepi dengan pemandangan sawah hijau yang menyejukkan mata.
+The End
Komentar
Posting Komentar