Aku sudah mengenalnya lama. Hampir 10 tahun. Dia tak banyak berubah dari pertama aku mengenalnya di bangku taman kanak-kanak hingga dia menginjak bangku kuliah. Dia masih manis dan selalu baik pada semua orang. Aku selalu iri padanya yang selalu bisa tersenyum lebar meski masalah sering menghiasi jendela hidupnya. Masalah terlambat datang ke sekolah. Masalah rapotnya basah. Masalah baju sekolahnya hilang. Masalah tidak mendapat jatah makan dari ibu nya, dan banyak lagi. Dia masih bisa tertawa ketika menceritakannya pada ku di atas pohon jambu air di depan rumah ku. Sambil terus memetikkan jambu yang paling matang di pohon untuk ku, dia bergelantungan ke kanan dan ke kiri, memancangkan kaki dan lengannya yang ramping dan panjang untuk meraih jambu-jambu merah kesukaan ku. Untuk mendapatkan pelayanan itu, aku harus betah duduk di dahan pohon, menjadi pendengar setia semua cerita nya. Mungkin karena kebiasaan si pendengar manis dan si pendongeng lincah ini, aku memiliki tubuh yang cukup berisi, dan dia selalu bertubuh ceking. Dialah Raga, dan Aku Jiwa.
Hari ini ulang tahunnya yang ke 23 tahun. Aku tengah menunggunya di teras rumah ku. Aku menyiapkan beberapa potong bolu kering dengan taburan serbuk gula putih dan keju parut. Tak lupa dua gelas kopi susu aku letakkan di meja bundar yang diletakkan di tengah-tengah teras rumah ku. Dia sangat suka susu. Sore itu gerimis mengiringi kedatangnnya ke rumah ku.
"Gak lama kan nunggu nya?" dia mengibas-ngibaskan rambut nya yang sedikit basah terkena rintik gerimis.
"Sini, cepetan. udah pingin makan kue nya ni!! Laper!!" teriak ku tepat di telinganya."
"Dasar nenek lampir. Melengking banget itu suara."
Dia meniup satu lilin yang berdiri di tengah-tengah kue bole.
"Asiikk!!"
Aku segera mengambil satu bolu dan segera kujejalkan ke mulut nya. Meski wajahnya menolak, dia tetap membuka mulutnya.
"Sekarang giliran ku." Aku menelan satu bolu dalam satu gigitan.
"Wuah!! Emang bukan cewek." Ucapnya sambil mendorong kepala ku.
"Hahaha" tawa ku pecah dengan makanan penuh di mulut ku.
"Mana kado nya?" dia menyodorkan telapak tangannya.
"Ini." aku menunjuk bolu-bolu yang tersisa di piring.
"Gak bisa. Harus ada yang lain."
"Aku udah gak ada uang..." ucap ku lirih
"Ada. Pasti ada di kamar mu."
"Hish! Gak percaya." Aku bergegas ke kamar ku untuk kutunjukkan dompet kering ku kepada nya. Dia berjalan di belakang ku.
"Nih!" aku menunjukkan dompetku yang hanya berisi uang receh beberapa kartu-kartu yang tidak ada isinya hanya sebagai penghias dompet ku kepada nya.
"Makasih ya." ucapnya sambil memelukku tanpa melihat isi dompet ku.
Bahagia itu murah, tapi bukan berarti murahan. Sore itu aku begitu bahagia.
***
Kita selalu punya lagu yang menggambarkan perasaan atau pemikiran kita. Kita biasa mendengarkan lagu yang bisa mendukung plot adegan sedih atau kisah suka cita hidup kita. Manusia adalah mahluk penuh ekspresi. Jika sudah tak berekspresi berari dia bukan manusia. Mungkin Setan. Atau mungkin Malaikat. Mungkin.
"Yang kemaren itu pacar kamu?" tanya ku pada Raga yang tengah game di ponsel nya.
"He'em." jawab Raga santai sambil terus bermain dengan game nya.
"Kenal dimana? kayaknya aku gak pernah tau."
"Aplikasi."
"Ih, emang seriusan bisa dapet dari sana?"
"He'em."
"Aku mah gak mau pakek gituan. Gak jelas. Ntar salah milih taunya penjahat. Pas ketemuan ternyata dia penculik. Terus aku diculik, dimutilasi, diperkosa. hiiiii."
"Kebanyakan nonton brita kriminal kamu."
"Ih gak percaya. Ya aku sih cuma mau wanti-wanti aja. Ati-ati."
"Lah, aku kan cowoknya. Kamu wanti-wanti aku biar gak dimutilasi sama cewek ku?"
"Kamu seriusan pacaran sama dia?"
"He'em."
Aku diam dan beranjak dari kursi ku. Raga masih asik bermain dengan ponselnya.
"Kalok masih aja main hp, entar makan malem gak usah di rumah ku. Suruh aja itu pacar kamu buat masakin!" teriak ku dari dalam rumah ku.
"Woyy. Jangan kejam sama anak yatim piatuuu!" jawab Raga dengan berteriak agar mendengar kalimat andalannya itu.
Dan kembali aku hanya bisa membiarkan dia melakukan hal yang dia ingin lakukan. Aku selalu gagal melarangnya melakukan hal yang aku rasa salah. Dia selalu bisa membuat ku diam dengan sikap dan argumennya. Tapi aku tidak pernah bisa membencinya. Tidak benar benar bisa membencinya.
***
"Raga bentar lagi lulus kuliah ya nak. Besok rencana mau kerja dimna?" tanya Ibu ku pada Raga di tengah makan malam kami.
"Kemaren ada senior yang nawarin kerja di tempat dia buat sementara bu. Gantiin temennya yang lagi cuti 2 bulan." jelas Raga dengan nada sopan dan lembutnya.
"Jadi cuma kerja 2 bulan?" tanya ku penasaran.
"Ya abis itu aku mau coba ambil kerja di luar negeri."
"Ha?! Luar negeri?!" tanya ku kaget.
"Biasa aja mbak." ucap Raga santai.
"Mau ke luar negeri kan gak gampang nak. Emang kamu ada biaya ke sana?" tanya Ibu ku menimpali pertanyaan ku.
"Syukur banget dosen aku kemaren ada yang kasih channel ke luar negeri bu. Jadi habis bantuin temen di sini, aku bisa ke sana."
"Kemana??" tanya ku amat sangat kaget dan penasaran.
"Kepo banget." jawab Raga enggan memberi tahu.
"Iya nak. kemana? Ibu juga penasaran."
Raga tersenyum ke arah Ibu.
***
Aku tengah serius mengerjakan tugas kuliah ku saat Raga masuk ke kamar ku.
"Serius banget mbak." ucap Raga mencoba mengganggu konsentrasi ku.
"Gak usah ganggu kalau gak mau diganggun." ucap ku ketus.
"Ceileh ada yang marah."
"Siapa?"
"Kamu."
"Enak aja. Gak ada gunanya marah. Nguras energi. Entar aku kurus."
"Seneng dong kurus. Bakal banyak yang suka."
"Oh jadi sekarang aku gendut dan gak ada yang suka?!"
"Widih. Nambah marah ni."
"Udah ah. Sana balik ke kamar mu."
"Udah sih. Jangan marah lagi."
"Aku gak marah. Titik."
"Kalok gak marah senyum dong."
"Apa an sih?! Udah gih kamar mu. Telponan sama cewek aplikasi kamu."
"Cemburu ya."
"Heloooooo."
"Haiiiiiii."
"Gak lucu."
"Siapa juga yang nglawak."
Aku menghentikan mengerjakan tugas ku dan berpaling menghadap Raga yang tengah duduk di ujung kamar tidur ku.
"Aku gak marah sama kamu. Cuma aku kecewa aja kenapa kamu gak cerita ke aku soal rencanamu ke luar negeri." ucap ku dengan nada lemah.
"Sorry."
"Gak bisa cuma sorry dong. Kamu harus cerita."
"Cerita gimana?"
"Gak tau."
"Udah. Jangan dipikirin yang belum kejadian. mending nikmatin apa yang sekarang ada. Contohnya, mumpung aku belum berangkat ke luar negeri, mending sekarang kita nonton film bareng gimana?"
"Gak mau. Kamu udah punya pacar. Aku gak bisa gangguin pacar orang."
"Haduh, mulai deh ribet kamu."
"Kamu beneran mau ke luar negeri ngajak pacara mu itu? Kenapa gak ngajak aku?"
Air mata ku mulai menggenang di pelupuk mata ku.
"Ih jangan nangis dong." pinta Raga.
"Gak tau, kenapa bisa ada air di mata ku. Aku juga sebenernya gak pengen nangis."
"Udah. Udah. Nanti juga kamu bakal punya cowok yang jagain kamu. Jangan iri gitu."
Tangis ku makin pecah. Ibu datang ke kamar dan langsung meminta Raga untuk tidak menggangu ku belajar.
Sejak malam itu Raga tidak pernah datang ke kamar ku bahkan ke rumah ku lagi. Entah apa yang sudah ibu katakan padanya hingga membuat Raga yang biasanya cukup membandel tiba-tiba langsung menurut. Saat aku tanya pada Ibu juga Ibu enggan bercerita.
Mereka membuat ku kesal.
***
8 tahun udah lewat.
"Bu, sabun aku udah masuk koper belum ya?" tanya ku dari dalam kamar kepada Ibu yang tengah membantu ku menyiapkan barang-barang yang akan aku bawa pergi liburan.
"Udah dek." jawab Ibu yang masuk ke dalam kamar ku dengan membawa beberapa potong kain.
"Apa lagi ya Bu yang perlu adek bawa?" tanya ku pada Ibu yang langsung mengacungkan sebuah kain.
"Sarung? ngapain aku bawa sarung ke sana? Aku kan udah bawa syal. Lagian sarung kan gak keren banget. Entar kalok Dio tahu dia kira aku mau ikut dia jumat an kali." ucap ku dengan memanyunkan bibir.
"Titip kalau kamu ketemu Raga di sana ya dek." ucap mama dengan tersenyum.
Aku hanya diam sambil tetap menatap wajah Ibu yang tersenyum pada ku. Senyum yang punya makna terlalu banyak. Sedih, senang, kecewa, cemas, antusias, dan mungkin pengharapan.
Sejak Raga lulus kuliah dan bekerja ke luar negeri, aku dan Ibu putus hubungan dengannya. Entah apa yang terjadi antara dia dan keluarga ku. Kami mencoba menghubungi nomornya tapi tidak aktif. Ibu juga memintaku menghubungi Raga lewat media sosial seperti facebook atau instagaram, tapi aku tidak bisa menemukannya di sana. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Aku sendiri sudah tidak berharap untuk bertemu dengannya, karena menurutku tidak ada alasan untuk ku bertemu dengannya. Berbeda dengan Ibu yang terkadang masih menanyakan kabar Raga dari ku saat kami makan bersama atau jalan-jalan berdua. Bahkan terkadang saat Dio tengah berkunjung ke rumah, Ibu bisa tiba-tiba bertanya soal Raga kepada ku. Hal itu membuat Dio merasa Ibu ku terlalu menyayngi Raga. Dio tampak tidak terlalu menyukai sosok Raga.
Dio adalah lelaki yang tidak sengaja aku temui saat tengah berlibur ke luar kota sendiri. Dia seorang dokter yang sangat rajin dan bersih. Usianya lebih tua dari ku 5 tahun. Dia tidak banyak menuntut dan lebih membebaskan ku untuk melakukan hal yang aku suka. Termasuk saat aku meminta ijin untuk berwisata ke luar negeri sendiri. Tanpa bertanya banyak hal, dia sudah memberiku ijin, dan bahkan dia mensuport aku untuk terus menjelajah negeri orang. Sering dia tiba-tiba memberiku tiket jalan-jalan ke luar negeri saat ulang tahun ku atau ulang tahunnya sendiri. Dia memang terkadang aneh dan sulit dimengerti, tapi sejauh ini dia lelaki yang membuat ku nyaman dan aku berharap bisa menghabiskan masa tua ku bersamanya.
Di awal hubungan ku dan Dio, Ibu tidak begitu srek karena dia menilai Dio tidak ramah dan cenderung diam. Aku tidak marah dengan penilaian Ibu, karena aku pun mungkin jika menjadi orang yang kenal Dio dari perkenalan formal, tanya nama atau tanya kabar pasti aku dan dia tidak akan pernah menjalin hubungan serius ini. Untungnya Tuhan baik. Dia mempertemukan ku dengan Dio melalui kejadian lucu sekaligus mendebarkan hingga aku sudah nyaman saat pertama kali bertemu dengannya.
Kejadian itu sekitar 2 tahun yang lalu. Di Yogjakarta.
***
Yogyakarta. Pertama kali aku melihat nya.
Aku baru saja turun dari becak di depan keraton yogyakarta. Saat aku akan membayar bapak becak, aku tidak bisa menemukan uang di dompet ku, aku baru ingat kalau aku belum mengambil uang dari ATM. Aku panik dan deg-dega an, bagaimana cara ku membayar bapak tukang becak ini.
"Pak, tunggu bentar di sini ya pak, saya mau minta uang dulu ke temen saya yang di sana. Saya lupa gak bawa dompet." Aku menunjuk satu arah di lapangan luas yang menghadap keraton. Dengan tujuan agar bapaknya tenang dan percaya kalau memang aku ada kenal degan salah satu orang di alun-alun itu. Dengan senyuman dan anggukan, bapak becak itu melepasku untuk mendatangi dan meminta uang kepada orang yang bagi bapak itu adalah teman padahal aku tidak ada kenalan sama sekali di alun laun itu. Dengan cepat aku mencoba men-scan orang-orang di lapangan itu. Aku mencoba mengira-ngira orang yang aku mintai itu adalah juga turis, jadi aku bisa meminjam uang dengan menggadaikan KTP ku atau barang berharga milikku agar dia mau meminjamkan uang. Dan aku bisa mengembalikannya ke tempat dia menginap. Aku benar-benar deg-deg an. Takut kalau orang yang aku pilih itu tidak mau meminjami ku uang.
"Maaf mbak, saya boleh gak pinjem uang dulu buat bayar becak yang disana. Nanti saya kembaliin pas..." belum selesai aku meminta, wanita yang tengah berjalan dengan lelaki yang aku rasa pacarnya itu pergi meninggalkan ku. Dia enggan meminjami ku uang. Aku benar-benar mulai putus asa saat seorang lelaki menghampiri ku lalu mengacungkan 1 lembar uang yang lebih dari cukupuntuk membayar becak kepada ku.
"Ini mbak, pakek aja. Kasian tukang becaknya nunggu." ucap lelaki yang menurut ku sangat tampan di tengah terik matahari itu. Dengan nada suara yang sangat merdu dia memberikan bantuan yang sangat aku harapkan. Dia seperti malaikat ku.
Tanpa berpikir dua kali, aku langsung mengambil uang dan membayar tagihan becak ku. Dan lelaki itu adalah Dio.
Dari kejadian itu, kami berlanjut menghabiskan waktu bersama di jogja. Tanpa ada niatan saling mengenal tapi nyatanya perjalanan kami mengenalkan kami satu sama lain. Hanya butuh waktu 3 hari perjalanan bersama, Dio meminta ku untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengannya. Di tengah alun-alun tempat pertama kali kami bertemu, di sanalah aku dan dia bersama menyepakati komitmen untuk menghabiskan waktu bersama sampai tua.
***
"Bu! Dio udah dateng!" teriak ku dari ruang tamu kepada Ibu ku yang tengah berada di dapur. Ibu tengah menyiapkan bekal sambel super pedas yang akan aku bawa. Aku pecinta sambel bakal sulit makan kalau gak ada sambel yang nemenin.
"Heh, itu mulut apa toa." ucap Dio sambil menutup mulut ku dengan telapak tangannya yang wangi parfum kesukaan ku. "Nanti pas di sana kamu jaga mulut ya. Di negera orang gak usah triak-triak. Kalem. Santai. Kalau ada kejadian gak enak juga jangan langsung ngambek atau panik. Telpon aku kalau memang ada hal yang kamu perlu bantuan. Jangan minta tolong sama orang asing. Pokoknya harus jaga diri." ucap Dio panjang.
"OK pak dokter."
Tak lama Ibu datang dengan membawa botol berisi sambal yang aku minta. Dio bersalaman dengan ibu lalu mengantarkan ku ke Bandara.
***
Di bandara. Aku dan Dio duduk dikursi tunggu.
"Pesawat mu berangkat jam berapa?" tanya Dio dengan memainkan ujung rambut ku.
"Masih 1 jam-an lagi kok."
"Oh."
"Hari ini gak ada pasien?" tanya ku dengan bersandar di bahu Dio.
"Aku minta libur."
"Tumben. Kenapa?"
"Nganterin kamu."
"Cieeee, kayaknya lagi ada yang gak rela aku pergi ni."
"Ngacok."
"Terus kenapa dong? Biasanya aku pergi ke luar negeri juga kamu gak nganter. Katanya udah gede. Gak perlu dianter-anter. Entar manja."
"Inget aja sih kamu."
"Aku loh. Wanita itu gak gampang nglupain kata kata. Apalagi kata kata pasangannya."
"Masak?"
Aku menganggung ngangguk sambil tetap bersandar di bahu Dio.
"Kalok di sana jangan lupa kabarin aku ya. Tiap hari harus kabaran."
"Kamu kenapa si? Kok kayaknya beda. Pas aku di Korea juga mau dua hari gak ada kabar kamu anteng aja."
"Iya."
"Iya kenapa?"
"Aku takut kamu kesasar."
"Enggak. Gak percaya. Pasti ada alasan lain."
"Iya."
"Iya kenapa jadinya?"
"Aku takut kamu ketemu Raga trus lupa sama aku."
Aku terdiam mendengar kalimat Dio. Entah rasa apa yang ada di dada ku saat mendengar nama itu. Serasa asing tapi juga sangat kenal.
"Iya kan. Kamu mau ketemuan sama dia, makannya kamu pengen jalan-jalan ke sana."
"Enggak."
"Ada banyak negara yang belum kamu datengin, dan kenapa kamu milih untuk ke negara nya Raga?"
"Aku kan mau ngadain research. Dan menurut atasan ku, di sana itu tempat yang paling tepat. Jadi ya aku nurut aja. Lagian aku sama sekali gak ada kepinginan ketemu sama dia. Negara itu gedek, gak mungkinlah aku ketemu sama dia. Kalau pun seandainya ketemu pasti kita udah kayak orang gak kenal. Tenang Dio."
"Ok."
"Aku sayang banget sama kamu."
"Gak usah pakek banget."
"Ya udah. Aku sayang ajahhh sama kamu." ucap ku sambil ku mengecup pipi Dio.
"Sorry ya kalau aku berlebihan."
"So sweet banget sih kamu hari ini." ucap ku dengan makin erat menggengam tangan Dio. Aku harap dia tahu kalau aku benar benar menyayanginya dan tidak ingin membuatnya khawatir. Aku ingin selalu menjadi orang yang dapat dia andalkan dan dia percayai. Aku harap dia tahu itu.
***
Aku sudah sampai di bandara Kopenhagen setelah hampir 20 jam di perjalanan dari Jakarta ke negara yang terkenal sebagai negara paling bahagia sedunia ini. Aku mengambil rute terbang termurah yang bisa aku dapatkan di aplikasi tiket online, dan hasilnya tidak mengecewakan. Aku hanya perlu satu kali transit di Bandara Instanbul selama hampir 4 jam di sana. Cukup membuat ku bosan karena aku malas kalau harus jalan-jalan ke luar bandara. Alhasil aku hanya berjalan jalan di dalam bandara dan menikmati kegantengan turis-turis yang lalu lalang sepanjang aku mengelilingi bandara orang Turki itu.
Sudah hampir setengah jam aku duduk di sebuah coffee shop di area bandara Kopenhagen. Aku tengah menunggu seseorang, lebih tepatnya kenalan Dio untuk menjemput ku. Sering aku merasa sangat beruntung mendapatkan sosok Dio dalam hidup ku. Meski dia bukan tipe orang yang banyak bicara atau nongkrong dengan banyak teman teman, tapi dia memiliki lingkaran pertemanan yang sangat strategis. Kalau aku tidak salah mengingat, Dio memiliki teman teman di segala bidang. Ada yang menjadi polisi, pengacara, guru, dewan rakyat, tukang cukur, pemilik restauran, pemilik hotel, pemiliki peternakan bahkan yang terakhir kali dia kenalkan pada ku adalah seorang designer. Kami meminta bantuannya untuk membuatkan kami baju pengantin. Lebih lagi teman teman Dio tidak hanya berada di negara yang sama dengan Dio, tapi beberapa ada yang di luar negeri. Seperti yang akan menjemput ku ini. Dio memberikan beberapa informasi tentang temannya ini. Seorang wanita Indonesia jawa asli. Memiliki seorang anak lelaki. Pintar membuat kue jadilah dia memiliki toko kue di Denmark. Suaminya seorang koki di hotel. Dia sudah tinggal di denmark hampir 10 tahun. Aku harap aku tidak merepotkan teman Dio yang bernama Lulu ini.
Sudah satu jam. Belum juga ada tanda-tanda Lulu datang atau menghubungi ku. Aku tidak enak jika harus menghubungi dia dulu karena mungkin dia tengah sibuk sehingga belum sempat menjemput ku. Aku juga tidak enak kalau memberitahu Dio kalau kini aku masih luntang lantung di bandara karena belum mendapat jemputan. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari banadara untuk membooking sebuah kamar di penginapan terdekat. Rasanya aku sudah sangat ingin merebahkan tubuh ku di atas kasur dan mandi. Sebelum aku keluar dari coffee shop itu, aku mengirimkan pesan ke Lulu agar tidak perlu menjemput hari ini karena aku akan menginap di hotel dekat dengan bandara selama satu malam. Siang itu dengan kekuatan yang tersisa yang aku miliki aku mencari hotel terdekat dengan bandara dan transportasi umum di Kopenhagen. Setelah kesulitan bertanya dengan orang asli kota itu--banyak dari mereka menggunakan bahasa Denmark--akhirnya aku berhasil merebahkan tubuh ku di atas kasur hotel yang dibalut dengan seprai putih khas hotel.
***
Aku terbangun dari tidur kelelahan ku masih di atas ranjang yang sama. Baju yang hampir 2 hari tidak ganti. Bau yang sama. Rambut yang sudah sangat kusut. Dan tentunya bau badan yang rasanya sudah ingin aku singkrikan dari tubuh ku itu sejak kemarin. Namun apa daya. Tubuh ku lebih membutuhkan tidur ketimbang mandi. Jadi sesampainya di hotel kemarin siang, aku langsung tertidur. Saat aku bangun langit sudah gelap.
Aku membongkar koper ku untuk mengambil alat mandi dan baju ganti. Saat aku tengah memilih baju mana yang akan aku kenakan saat tidur nanti, aku baru teringat jika dari kemarin siang setelah aku mengirimkan pesan ke Lulu posel ku kehabisan daya. Cepat cepat aku mengisi daya ponsel ku, lalu aku bergegas mandi.
Hampir satu jam aku mandi dengan air hangat di kamar mandi kamar hotel ku. Rasanya sangat ringan. Aku sudah siap melanjutkan tidur ku. Tapi aku rasa aku lapar. Terakhir kali aku makan sepotong roti di caffee shop di bandara. Perut ku sudah keruyukan. Dari pada aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karena kelaparan, aku putuskan untuk ke restauran yang ada di dalam hotel dan mengisi perut ku. Aku tidak membawa ponsel ku karena saat aku cek baru terisi 30% daya baterai nya. Dengan bermodal beberapa lembar Krone--mata uang denmark--aku meninggalkan kamar hotel ku untuk memenuhi tanggung jawab atas perut ku yang sudah keroncongan ini.
Aku sampai di restauran hotel yang bernuansa minimalis dengan lantai kayu dan banyak nuansa kaca di sana. Masih mengandalkan bahasa inggris ku yang cukup baik aku berhasil memesan satu paket makanan yang aku harap bisa mengenyangkan dan membuat tidur ku pulas. Tidak banyak yang makan di sana. Hanya beberapa pasangan dan seorang wanita paruh baya. Dengan alunan musik instrumental yang belum pernah aku dengar sebelumnya, aku menghabiskan makanan ku tak tersisa. Aku bergegas kembali ke kamar ku karena aku masih merasakan jet lag yang lumayan membuat kepala ku berat.
Hampir 10 menit waktu yang aku butuhkan untuk kembali ke kamar ku dari tempat makan ku tadi. Kamar ku berada di lantai atas. Jadi perlu waktu lebih untuk dapat sampai di kamar ku. Aku hanya mengenakan kaos oblong dan celana kolor pendek saat aku ke bawah untuk makan. Tidak memakai riasan atau bedak. Hanya lipstik tipis dan kuciran rambut. Sesampai nya di kamar kembali aku merebahkan tubuh ku dan mengaktifkan ponsel ku yang sudah hampir penuh daya baterainya.
21 panggilan tak terjawab dari Dio saat ponsel ku sudah kembali aktif. Aku benar benar lupa untuk mengabari Dio kalau aku tidak jadi bertemu Lulu dan menginap di hotel. Aku menarik nafas panjang dan menyiapkan telinga serta alasan terbaik ku agar Dio tidak marah besar pada ku.
Dengan menghitung mundur 10, aku beranikan diri menelpon nomor Dio. Tak lama telpon ku di angkat.
"Wa?" tanya Dio di seberang dengan suara pelan.
"Iya..." jawab ku tak kalah pelan.
"Ini Jiwa kan?" tanya Dio masih dengan suara pelan.
"Iya..." jawab ku makin takut dengan nada suara Dio yang tidak wajar itu.
Tiba-tiba Dio mengganti panggilan telpon biasa ke panggilan video call. Aku benar benar takut untuk mengangkatnya. Dia pasti marah besar. Tidak biasanya dia suka panggilan video. Sebelum aku mengangkat panggilan video dari Dio, aku menarik nafas panjang dan dalammmmmmm.
"Hai..." senyum ku saat aku mengangkat panggilan video dari Dio.
Dia tampak diam sambil tampak mengerjakan sesuatu di laptonya.
"Maaf ya..." ucap ku sambil menundukkan wajah ku.
"Udah gak butuh aku kayak nya." ucap Dio dingin.
"Kok ngomongnya gitu si? Aku tu kemaren kecapeak an. Terus karna Lulu gak ada kabar, jadinya aku mutusin buat booking hotel."
"Dan gak ngasih tau aku?"
"Ihhh, gak gito loh. Kemarin tu abis aku sampek hotel aku langsung ketiduran. Lupa gak ngisi baterai hp. Gak ada niat apa - apa kok."
Dio tampak menarik nafas dan mengalihkan pandangannya dari yang semula ke layar laptopnya beralih ke layar ponsel nya.
"Aku cuma khawatir." ucap Dio dengan menatap ku mata ku yang saat itu juga tengah menatap nya melalui layar ponsel kami. "Aku takut kamu kenapa napa. Aku tahu kamu memang suka jalan-jalan sendiri tanpa kasih info kesiapa aja kamu ada di mana sama siapa. Tapi itu kan dulu. Sekarang kamu punya aku. Paling enggak kamu hargain aku dong." ucap Dio panjang.
"Aku kan udah minta maaf."
"Terus udah cukup? Ini yang katanya sayang banget?"
"Kamu gak mau maafin aku dan lanjutin nyalahin aku?"
"Aku gak nyalahin kamu. Aku cuma tanya komitmen kamu di hubungan ini. Kemarin kamu sendiri kan yang bilang sayang banget sama aku. Tapi kenapa kamu bertindak sebalinya ya? Aku bingung sama arah berpikir mu."
"Iya Pak Dokter. Aku emang jauh kalah pinter dibanding kamu. Wajar kalau aku sulit dingertiin."
"Kok kamu ngomongnya gitu?"
"Lah terus mau kamu aku gimana? Muter waktu biar aku bisa balik ke kemaren siang terus ngasih kabar ke kamu aku dimana sama siapa lagi ngapain?"
"Emangnya aku seposesif itu?"
"Enggak. Kamu gak posesif sebelum aku ke sini. Biasanya mau satu minggu gak ada kabar kamu juga santai aja. Waktu kamu lagi ada dines ke Papua hampir satu bulan gak ada kabar juga kamu gak ada rasa bersalah bersalah nya ke aku. Aku gak papa. Karna aku percaya sama kamu."
"Kamu gak khawatir sama aku. Makannya satu bulan aku gak ada kabar juga baek baek aja buat kamu."
"Ya udah terserah kamu mau mikir gimana. Percaya sama gak perhatian kan sama aja buat kamu. Aku masih capek. Besok harus bangun pagi buat pergi."
"Kamu nginep dimana?"
"Kenapa?"
"Kok kenapa? Ya aku pengen tahu. Biar nanti aku kasih tahu Lulu dan biar dia bisa jemput kamu di sana."
"Makasih. Aku gak papa kok jalan sendiri. Lulu pasti sibuk . Aku gak mau ngrepotin orang."
"Kamu gak mau ngrepotin orang atau gak mau aku tahu kamu ngapain aja di sana?"
"Seriusan ya. Aku udah gak ngerti arah obrolan kita. Pertama kamu gak percaya sama aku. Kedua kamu nganggep kalau aku gak perhatian sama kamu. Terus aku harus gimana? Aku capek."
Air mata ku tiba-tiba jatuh. Sambungan video dari Dio mata sesaat aku menangis. Entahlah. Aku rasa dia muak dengan ku. Aku lelah. Aku rasa mata ku juga lelah sehingga menangis. Aku hanya butuh tidur. Ya. Aku ingin tidur.
***
Aku terbangun dari tidur ku. Baru saja aku bermimpi Raga setelah sekian lama aku tidak memimpikannya. Rasanya aneh. Aku lihat jam di ponsel ku menunjukkan pukul 3 pagi. Beberapa panggilan masuk yang tidak terjawab dari Dio. Sebelum aku tertidur aku memang sengaja tidak mengangkat telpon darinya. Aku masih belum benar benar siap menghadapi sikap Dio yang terasa sangat memaksa. Entahlah.
Beberapa hari sebelum keberangkatan ku ke sini aku sudah membuat janji dengan orang yang dulu bekerja di kantor ku yang kebetulan sedang melanjutkan kuliahnya di salah satu universitas di Kopenhagen mengambil jurusan Arsitektur. Teman kerja ku ini bernama Argi. Nama universitas dimana Argi menlanjutkan cukup panjang dan terkesan seperti nama sebuah kerajaan, The Royal Danish Academy of Fine Arts Schools of Architecture, Design and Conservation. Kampus itu adalah salah satu yang terbaik di dunia, terutama soal arsitekturnya. Aku belum pernah bertemu dengannya langsung. Kami hanya beberapa kali saling bertukar kabar melalui whatsapp dan email. Karena kebetulan selama dia melanjutkan sekolahnya di luar negeri aku yang menghandel beberapa pekerjaannya di tempat kerja ku yang sekarang.
Sejak aku sampai di Kopenhagen aku belum memberitahu dia sama sekali. Aku merasa apa yang dikatakan Dio semua benar. Aku terlalu menggampangkan orang lain. Sekarang dikala aku merasa membutuhkan Argi aku baru terpikirkan untuk menghubunginya. Dasar wanita tidak tahu malu. Meski aku merasa tidak pantas untuk menghubungi Argi di jam sepagi ini, namun ada bagian dari diri ku yang merasa tidak masalah jika hanya mengirim pesan, karena dia pasti tengah tertidur lelap dan akan membuka pesan ku keesokan harinya. Pesan ku tidak akan membangunkan mimpi nya. Jadi dengan senyum penuh pengharapan aku mengirimkan pesan ke nomor Argi yang isinya pemberitahuan jika aku sudah berada di kota yang sama dengannya dan bersiap menyusahkannya untuk beberapa hari kedepan. Setelah mengirimkan pesan ke Argi aku mencoba menutup mata ku untuk melanjutkan tidur ku yang aku rasa sudah cukup banyak.
***
Ponsel ku bergetar dengan nada dering lagu salah satu boyband asal Korea yang tengah ngehits di kalangan remaja. Aku rasa untuk yang urusan K-pop, aku tidak akan pernah merasa tua. Sebuah paggilan masuk. Dengan mencoba membuka mata ku, aku mengangkat telfon yang masuk.
"Pagi." jawab ku dengan nada masih setengah sadar.
"Pagi Wa. Ini aku Argi. Aku udah di depan hotel mu ni." ucap suara di seberang yang mengatakan dirinya Argi.
What?! aku langsung terperanjat dari tempat tidur ku. Aku melihat ke layar ponsel ku. Dan benar, Argi lah yang menelpon ku.
"Sorry Gi, aku baru bangun tidur ni." ucap ku gagap sambil melihat jam di dinding kamar ku menunjukkan pukul 10 pagi.
"Gak papa kok." jawab Argi santai.
***
Argi sudah duduk di sofa yang tidak terlalu besar di dalam kamar hotel ku. Aku tidak enak jika memintanya menunggu di lobby, jadi aku membolehkannya menunggu ku bersiap-siap check out dari hotel di kamar ku.
"Sorry ya, kamu jadi repot harus ke sini. Padahal tadinya aku pikir kita janjian ketemuan aja di Kampus mu. Sekalian aku check lapangan." ucap ku dengan menggaruk garuk leher ku, tidak enak.
"Gak papa lagi Ra. Kebetulan hari ini aku kosong. Lagian aku khawatir aja kalau kamu nyasar. Kamu bilang kamu baru pertama kali ke sini kan?" tanya Argi yang masih duduk di kursi nya, memperhatikan ku yang berpindah pindah karena memasukkan barang barang ke dalam koper ku.
"Iya si. Di sini juga banyak yang gak pakek bahasa inggris kan. Pada pakek bahasa Denmark. Jadi radak paleng ni pala." senyum mu malu malu.
"That's why I'm here." ucap Argi dengan senyum mengembang di wajah nya.
"Ya udah, aku mandi dulu ya. Kamu bisa nonton TV atau rebahan dulu. Aku bentar kok mandinya." ucap ku dengan bergegas ke kamar mandi sambil membawa peralatan mandi ku.
***
Aku sudah memakai baju ku saat keluar dari kamar mandi.
"Sorry ya, lama." ucap ku kepada Argi yang tampak asik dengan game di ponselnya.
"Don't mind." ucap nya masih fokus dengan game nya. "Eh, tadi ada telpon dari pacar mu. Tadinya aku gak mau angkat, tapi karena telponnya terus terusan jadilah aku angkat. Aku pikir keluarga mu atau sodara mu mau kasih kabar penting. Jadi sorry ya udah angkat." jelas Argi dengan tetap memainkan ponselnya.
Aku terdiam sejenak. Dio pasti makin kesal dengan ku karena ada laki laki di dalam kamar ku. Aku pikir hubungan ku dan Dio akan benar benar berakhir di sini. Hela nafas ku dalam.
"Kenapa? Salah banget ya aku udah angkat ?" tanya Argi yang benar benar asik dengan game nya.
"Gak papa kok. Yuk kalau mau jalan." ucap ku dengan membereskan sisa barang barang yang masih ada di luar koper ku.
"Ok." Ucap Argi sambil berdiri dari kursinya namun tetap melanjutka game nya. Mungkin dia tengah berada daplam posisi tanggung untuk menyelesaikan sebuah misi permainannya.
Aku dan Argi meninggalkan hotel sekitar pukul 11 siang. Kami memutuskan naik subway--semacam kereta bawah tanah-- untuk pergi ke kampus Argi sekaligus tempat pertemuan ku dengan orang yang rencananya akan menjadi sumber survey ku di sini. Kebetulan Argi dekat dengan orang itu, jadi aku merasa cukup tenang dan berharap banyak kepada Argi. Kami naik dari stasiun Luthavnen menuju stasiun terdekat dari Kampus Argi yaitu stasiun Christianshavn. Sambil berjalan kaki dari hotel ke stasiun subway Argi banyak bercerita tentang kehidupannya di Kopenhagen. Dia memberitahu ku alat-alat transportasi umum yang bisa aku coba untuk berkeliling kota yang terkenal dengan arsitekturnya ini. Dia juga memperingatkan aku agar selalu berhati hati ketika berjalan jalan karena meski terkenal dengan negara dengan tingkat kebahagian yang tinggi, jumlah tindak kriminal di negara ini juga cukup tinggi.
Aku sudah duduk di bangku penumpang subway. Sedangkan Argi berdiri tepat di depan ku karena dia tidak mendapat tempat duduk. Kereta bawah tanah yang kami naiki bersih. Argi baru saja selesai menceritakan pengalaman belajar di jurusan yang dia tempuh dan kesulitan yang dia alami saat pertama kali datang ke kota ini bersamaan dengan kereta kami yang mulai melaju. Beberapa kali fokus ku hilang saat Argi mengajak ku berbicara karena aku teringat Dio. Aku merasa permasalahan yang muncul antara Aku dan Dio datang pada waktu yang kurang tepat. Kenapa pada saat aku masih di luar negeri. Akan sangat sulit buat ku untuk meluruskan ketidak pahaman diantara aku dan dia. Aku pun masih berpikir keras alasan Dio bersikap terlalu sensitif dengan kepergian ku kali ini. Otak ku masih belum bisa menerima alasan bahwa Dio cemburu dengan Raga yang jelas jelas sudah raib dari kehidupan ku hampir 8 tahun. Otak ku masih belum bisa mencerna jalan pikiran Dio yang takut aku akan ada apa apa dengan Raga. Kalaupun seandainya aku bertemu dengan Raga di sini, aku yakin tidak akan terjadi apa apa. Aku dan Raga akan seperti orang asing. Mentok mentok kami akan saling tersenyum canggung dan berbicara dengan bahasa super formal. Sudah. Hanya itu kemungkinan paling besar.
***
Dio benar. Dio benar benar benar. Dia memang keturunan dukun. Mulai saat ini aku harus mempercayai kata kata yang dia ucapkan. Ucapannya seperti mantra peri kesayangan Tuhan.
Aku sedang bersalaman dengan Raga di sebuah ruang pameran kursi. Bukan sembarang kursi yang dipamerkan di ruang yang ukurannya cukup luas dengan nuansa lampu yang membuat kursi kursi yang dipamerkan terlihat unik dan mengesankan. Kursi yang dipanjang ini adalah karya karya designer handal lulusan program arsitektur KADK--singkatan nama kampus yang panjang dan seperti nama kerajaan ini.
Aku dan Raga sejenak saling menatap meski sudah melepaskan jabat tangan yang berlangsung hanya beberapa detik namun rasanya lebih lama dari itu. Aku benar benar merasa sangat beruntung sekaligus sial mempercayakan peretemuan ku dengan nara sumber survey ku kepada Argi. Aku tidak menyangka jika nara sumber yang Argi kenalkan pada ku bernama Reigner adalah Raga. Holy shit. Jika dari awal aku tahu kalau orang itu adalah Raga aku akan meminta bos ku untuk mengirim orang lain dalam projek ini. Tapi aku juga tidak bisa seutuhnya menyalahkan Argi, karena aku terlalu sembrono dengan tidak pernah meminta Argi mengirimkan biodata atau sekedar poto narasumber yang akan dia pertemukan dengan ku. Baiklah, lagi lagi Dio memang benar. Sangat benar. Aku selalu menggampangkan sesuatu. Pertemuan ku dengan Raga kali ini benar benar menjadi kuburan hubungan ku dan Dio. Sudahlah. Aku jadi teringat sarung yang diberikan Ibu untuk kuberikan pada Raga.
"Ra. Kamu udah nyiapin pertanyaan buat Reign kan?" tanya Argi membuyarkan pemikiran kacau ku.
"Oh iya. Aku sudah menyiapkan beberapa pertanyaan dan penawaran untuk proyek kita." ucap ku mencoba tersenyum tanpa harus menatap wajah Raga.
"Ok. Kita bisa ke kantor ku. Tidak jauh dari sini." ucap Raga santai kepada Argi dan tentunya kepada ku yang masih belum bisa mengendalikan perasaan tidak karuan ku.
Kami berjalan dari tempat pameran kursi tadi ke sebuah bangunan yang disebut Talent Garden Rainmaking. Bangunan yang menjadi salah satu gedung perkantoran yang jaraknya sangat dekat dengan kampus KADK. Hanya berjalan sekitar 10 menit untuk sampai di sana. Dalam perjalanan menuju ke kantor Raga alisas Reigner itu, aku hanya diam sambil menata kembali akal pikiran ku dan merangkai kembali fokus ku ada di negeri orang ini. Aku ingin berhasil membuat kerjasama dengan manusia bernama Reigner ini sebagai designer tetap perusahaan furniture ku. Aku harus berhasil membuat Raga menandatangani perjanjian kerja sama urusan perkakas rumah tangga yang dia hasilkan agar bisa kami pasarkan di negara ku sana. Ku akhiri waktu merajut fokus ku dengan untaian doa manis dan penuh harap ke Tuhan. Yang terbaik untuk ku. Amin.
Aku dan Argi sudah duduk di sebuah ruangan berdingin kaca berukuran tidak terlalu besar namun sangat nyaman dengan hiasan beberapa tanaman hijau di sudut sudutnya dan pencahayaan dari lampu dengan desain super unik. Raga sedang keluar ruangan sesaat setelah mengantar aku dan Argi ke dalam ruang kerjanya dan meminta kamu untuk duduk di kursi manapun yang kami sukai. Alasan dia mengucapkan kursi yang kami sukai karena memang kursi yang ada di dalam ruang kerjanya punya bentuk yang beda beda. Semuanya unik. Semuanya terlihat nyaman. Dan semuanya dia yang mendisign nya. Aku benar benar hampir gila menahan luapan rasa di hati ku. Gembira. Kesal. Takut. Pensaran. Semangat. Dan masih banyak lagi. Bercampur.
Raga kembali ke ruang kerjanya dengan membawa nampan berisi tiga cangkir kopi hangat. Argi tampak sumringah menyambut kedatangan kopi dalam cangkir cangkir berukura sedang dengan design tidak biasa.
"Ini hal yang selalu ku sukai saat datang ke kantor mu. Aku selalu tidak sabar untuk mendapat kopi dari gelas super unik mu. Aku selalu menantikan akan mendapat gelas cantik seperti apa tiap kali kau membawakan kopi untukku." ucap Argi terdengar sudah sangat akrab karena seringnya datang ke kantor Raga. Dan tentunya sudah sering mendapat jatah kopi dari Raga. Aku sedikit merasa lega sekaligus curiga. Aku takut ada sesuatu diantara mereka berdua. Sejak pertama kali Argi menceritakan sosok lelaki yang dia panggil Reigner ini kepada ku dia selalu memuja muja karya nya. Dengan suara dan raut wajah berbinar dia banyak bercerita tentang Reigner. Aku harap Argi tertarik kepada Raga sebatas pengagum karya seni, bukan karena rasa sayang dibalut romansa cinta mirip di film film barat belakangan ini.
Raga membalas pujian Argi dengan hanya tersenyum sambil meletakkan gelas kopi untuk ku di meja berbentuk sedikit bulat dengan kaki meja yang sedikit bengkok namun tetap kokoh menyangga bagian atas meja dan tetap rata. Memang sudah keputusan yang tepat Argi membawa ku ke tempat ini. Aku bisa benar-benar yakin untuk mendapatkan kotrak kerjasama dengan Arga hanya dengan melihat karya-karyanya yang dia gunakan sendiri di dalam kantor nya ini.
"Jadi, apa yang anda bawa jauh jauh dari Jakarta ke sini Nyonya Jiwa?" tanpa basa basi Raga langsung menanyakan urusan pekerjaan kepada ku. Kopi yang tadinya sudah siap aku sesap, tiba-tiba terhenti di depan bibir ku.
"Oh iya. Begini Pak Rag-, Reigner." Aku hampir saja salah menyebutkan nama lelaki yang kini sudah berganti nama menjadi Reigner itu. "Saya datang ke sini ingin melihat-lihat hasil karya mu, lalu--" belum selesai aku berbicara Raga sudah memotongnya.
"Berapa?" tanya Raga memotong kalimat ku.
"Apanya?" aku masih belum mengerti pertanyaan Raga.
"Harga kontraknya." jawab Raga dengan menyesap kopinya sambil menatap ku datar.
Aku tercekat diam. Aku belum menyiapkan jawaban atas pertanyaan dadakan Raga. Di tengah ketegangan antara aku dan Raga, Argi terkekeh melihat situasi aku dan Raga. Sontak aku langsung melirik Argi yang masih terkekeh.
"Akting galak mu benar benar oke Reigner." ucap Argi yang entah bagaimana caranya membuat Raga ikut terkekeh.
"Tidak sia sia kan aku mengikuti kelas akting dengan mu." ucap Raga dengan tawa yang diikuti tawa Argi.
Aku hanya bisa diam kebingungan dengan situasi yang ada. Otak ku sedang mencerna sikap mereka. Mereka adalah teman latihan akting? Teman bercanda garing? Atau memang mereka ada hubungan spesial? Dahi ku mengerut memandang ke arah mereka berdua.
"Ok Jiwa. Tadi saya cuma bercanda. Mengasah kemampuan akting saya. Saya sedang mengambil kelas akting untuk pertunjukan ulang tahun perusahaan saya. Aku harap akting ku tidak terlalu buruk tadi." tawa Raga renyah dengan kerendah hatian dia mengakui situasi yang dia buat tadi benar benar membuat ku percaya kalau dia memang sosok yang sangat perhitungan.
"Oh iya, tidak apa apa." ucap ku dengan senyum kaku yang coba aku berikan dengan tulus. Namun aku yakin senyum tulus ku belum berhasil. Pasti masih terlihat kaku.
Siang itu aku banyak berdiskusi dengan Raga dan dibantu oleh Argi untuk deal perjanjian kerjasama dengan perusahaan furnitur kami di Jakarta. Hingga menjelang malam belum ada kesepakatan yang terjalin dengan Raga. Dia benar benar seorang pebisnis dan designer yang jeli. Dia ingin berkunjung ke perusahaan kami terlebih dahulu untuk memastikan semua hal yang aku tawarkan di perjanjian kerja itu dapat berjalan sesuai perhitungannya.
"Baik Reigner. Dengan senang hati perusahaan kami menyambut kedatangan mu. Jangan ragu untuk memberitahu ku kapan kau akan ke sana. Biar nanti kami akan siapkan semua akomodasi mu." ucap ku tenang kepada Raga yang tampak lebih tenang ketimbang aku. Entah memang karena dia sangat bagus dalam akting tidak mengenali ku, atau karena memang dia bukan Raga yang aku kenal. Mungkin dia hanya mirip dengan Raga. Entahlah. Aku hanya ingin segera membereskan urusan pekerjaan ini dan membawa hasil yang diharapkan oleh bos.
"Baik Jiwa. Secepatnya aku akan mengabari mu. Ngomong ngomong di sini kamu tinggal berapa lama?" tanya Raga terdengar basi basi.
"Tadinya aku berencana tinggal tiga sampai lima hari untuk mengadakan beberapa survey di sini kalau tidak langsung bertemu dengan yang cocok. Tapi setelah melihat karya karya mu, aku sangat yakin kalau perusahaan kami hanya ingin bekerja sama dengan mu." ucap ku yakin penuh percaya diri.
"Aku sarankan untuk tidak hanya bergantung pada ku. Karena kita tidak tahu masa depan Nyonya Jiwa. Masih ada kemungkinan aku tidak menerima tawaran kerjasama ini. Jadi sebaiknya anda tetap menjalankan rencana survey ke beberapa tempat yang memang sudah anda rencakan." ucap Raga yang langsung membuat ku terdiam kaget. Aku tidak menyangka kalau kalimat itu akan keluar dari mulut nya. Terasa sangat menyakitkan. Mungkin karena aku masih benar benar berharap kalau lelaki bernama Regnier ini adalah Raga yang dulu sangat dekat dengan ku. Jadi aku berharap terlalu muluk kepadanya untuk menerima tawaran kerjasama ku. Oh Tuhan. Bodohnya aku. Aku sudah terlalu percaya diri.
"Aku rasa Reigner benar. Lebih baik kau tetap melakukan survey ke beberapa tempat yang ada di list mu. Bos juga pasti tidak akan senang jika kau tidak melakukan perbandingan sama sekali." ucap Argi menyadarkan ku untuk tidak bertindak konyol karena terlalu memakai perasaan untuk menjalin kerjasama dengan Reigner. Biasanya aku tidak pernah segila ini. Dio. Aku membutuhkan mu.
"Ya. Aku rasa kalian sangat benar." ucap ku sambil menghela nafas dalam. "Pasti aku akan melakukan survey sesuai dengan do list ku. Terimakasih sudah mengingatkan." pungkas ku dengan senyum yang aku paksakan.
"Kau tidak merasa kecewa dengan kata-kata ku kan Nyonya Jiwa?" tanya Raga dengan wajah sok cemas.
"Oh sama sekali tidak. Malah aku bersyukur karena telah diingatkan. Anda memang orang yang sangat baik dan pengertian. Seharusnya anda yang marah saat aku berkata akan melakukan perbandingan dengan yang lain. Tapi untungnya anda tidak seperti yang ada di pikiran saya. Saya lega dan bersyukur." ucap ku berusaha setulus mungkin.
"Saya senang jika bisa membantu." senyum Raga kepada ku dan Argi. "Lalu, selama di sini dimana anda tinggal?" tanya Raga masih mencoba basa basi.
"Em, aku rasa di sekitar sini." ucap ku ragu ragu.
"Rasa?" tanya Raga dan Argi berbarengan.
"Kamu belum booking penginapan?" tanya Argi kaget.
Aku hanya mengangguk ragu.
"Jadi sebenarnya sebelum aku datang ke sini aku sudah ada rencana untuk tinggal dengan kenalan teman ku dari Jakarta. Tapi karena masalah komunikasi, aku rasa aku tidak jadi tinggal di tempat kenalan teman ku itu. Tenang saja, aku bisa memesan kamar di daerah sekitar sini. Aku rasa di sini tidak terlalu jauh dari beberapa tempat survey ku yang lain." ucap ku dengan senyum mencoba agar tidak membuat mereka khawatir.
"Hey, buat apa menghabiskan uang untuk menyewa penginapan. Kau bisa tidur di tempat pacar ku. Aku rasa dia tidak akan keberatan. Malah dia akan merasa akan senang sepertinya karena mendapat teman ngobrol." ucap Argi senang.
Aku belum mengiyakan atau menolak tawaran Argi.
"Mending uang akomodasi dari kantor buat yang lain kan. Beli oleh oleh contohnya." kembali Argi meyakinkan ku agar mau menerima tawarannya.
Sesekali aku melirik ke arah Raga. Entah mengapa aku berharap Raga mengatakan sesuatu. Setujukah. Atau tidak setuju kah. Atau apa pun itu. Aku berharap dia sedikit memberikan perhatian kepada ku.
"Sudah. Jangan banyak berpikir. Lebih baik dari sini aku langsung mengantarkan mu ke tempat pacar ku ya." ucap Argi yakin.
Akhirnya aku hanya tersenyum yang artinya aku sendiri tidak tahu. Senyum karena senang ada orang sebaik Argi yang membantu ku di negeri orang. Atau senyum karena telah salah berpikir tentang lelaki yang aku anggap Raga ternyata orang lain.
Sudahlah. Saatnya untuk kembali ke dunia nyata. Hentikan khayalan tentang Raga. Reigner itu bukan Raga. Mereka beda. Ucap ku dalam hati dan sedang berusaha mematenkan ucapan itu di pikiran ku. Aku kangen Dio.
***
Aku sudah berada di dalam subway bersama dengan Argi. Dia akan mengantarkan ku ke tempat pacarnya. Aku tidak menyangka jika Argi punya kekasih di sini. Aku senang mengetahui ini. Itu artinya dia masih normal dan tidak memiliki hubungan yang spesial dengan Raga.
"Argi, apa kau yakin kekasih mu tidak akan repot?" tanya ku hati hati kepada Argi yang duduk di sebelah ku dengan memainkan ponsel nya.
"Tenang. Aku kenal kekasih ku. Dia akan senang jika ada seseorang yang menemaninya tidur. Lagi pula dia juga jarang ada di tempatnya. Dia sangat sibuk. Jadi kadang dia hanya ada di tempatnya 2-3 jam. Sisanya dia ada di luar." jelas Argi kembali mencoba meyakinkan ku kalau keputusannya membawa ku ke tempat pacarnya sudah benar.
"Baiklah. Aku sangat berterimakasih untuk kebaikan mu selama aku di sini. Aku tidak akan pernah bisa membalasnya." ucap ku dengan senyum bahagia.
"Kau bisa membalas kebaikan ku dengan membawa kontrak kerjasama dengan Reigner. Aku berani bersumpah kalau Reigner tertarik dengan tawaran kita. Memang angka kontraknya tidak terlalu besar namun fasilitas lain yang kamu tawarkan benar benar membuat nya betah ngobrol dengan kita dari siang sampai menjelang malam. Wow. Aku belum pernah melihat Reigner setertarik ini." Argi berbicara dengan nada riang, seolah tak sabar menanti keputusan yang akan dijatuhkan Reigner. "Aku berani persumpah, kau tidak akan kembali ke Jakarta sendiri. Karena Reigner akan datang bersama mu. Yah, memang dia akan berkata kalau keikutsertaannya dengan mu tidak berarti dia setuju dengan perjanjian kita, namun jika Reigner sudah memutuskan untuk berkunjung ke perusahaan, biasanya itu hanya nol koma sekian persen dia batal untuk membuat kerjasama. Good job pokoknya presentasi mu tadi." tambah Argi masih dengan nada bahagianya.
Aku hanya bisa mendengarkan ucapan Argi tanpa tahu harus memberikan respon seperti apa. Argi tampak sangat meyakinkan tentang semua hal yang akan dilakukan Reigner. Tapi aku juga sudah terlalu letih untuk kembali menggantungkan harapan ku pada Reigner. Aku benar benar kehabisan energi menahan segala luapan emosi yang terbalaskan dengan kedataran respon Reigner. Jadilah aku tidak berharap banyak seperti Argi pada Reigner. Aku hanya ingin menjalankan tugas ku sebaik mungkin, dan menyerahkannya pada Tuhan. Aku kangen Ibu.
***
Radioraekkerne adalah nama komplek perumahan yang dihuni oleh kekasih Argi. Hanya perlu waktu 16-20 menit untuk mencapat tempat ini dengan menggunakan subway dari kampus Argi. Aku sudah berada di dalam tempat tinggal kekasih Argi, lebih tepatnya di atas sofa ruang tengah yang menjadi satu dengan dapur. Tidak terlalu banyak perabotan yang ada di rumah kekasih Argi. Hanya beberapa lemari dan perabotan elektronik. Sepertinya kekasih Argi tipe minimalis.
"Oh ya, aku belum tahu nama kekasih mu." ucap ku pada Argi yang tampak sibuk mencari sesuatu di kulkas yang terletak di pojok dapur.
"Oh ya. Namanya Emma. Dia seorang poto model. Foto yang ada di dinding di belakang sofa yang kau duduki itu dia." ucap Argi dengan menatap ke arah belakang sofa yang aku duduki.
Spontan aku membalikkan badan ku ke dinding belakang sofa ku.
"Waawww!!! Cantikk bangeeeeettttttttt!!!" pekik ku yang langsung disambut tawa kecil Argi.
"Cuma ada minuman sehat di kulkas pacar ku." Argi meletakkan dua gelas bersih dan sebotol orange jus di meja dekat dengan sofa tempat ku duduk.
"Serius Gi. Eloohh beruntung bangeettttt." ucap ku masih kagum dengan potret kekasih Argi. Hampir sempurna kalau menurut ku.
"Yeeee. Dia juga beruntung kali dapetin gueeehhhh." ucap Argi dengan nada bercandanya.
Tidak salah kalau Argi berpikir Emma juga adalah wanita yang beruntung karena memang Argi adalah anak salah satu petinggi di negara ku. Banyak uang. Otak pintar. Wajah lumayan. Hal apa lagi yang Argi butuhkan. Mungkin hanya sedikit tubuh berotot dan ketegasan dalam gaya bicara.
"Seriusan Gi. Dirimu pakek pelet apa? Bagi bagi dong." ucap ku anstusias.
"Pelet ikan kaleeeee. Lagian kamu mau melet siapa? Bukannya kamu udah ada pacar?"
Seketika aku terdiam. Iya. Aku ingat Dio. Dio pacar ku. Dio calon suami ku.
"Kok diem? Kalian lagi ada masalah?" tanya Argi dengan menyodorkan segelas orange jus kepada ku yang sudah kembali duduk di sofa seperti awal kedatangan ku--tidak lagi menatap poto Emma. Kekasih Argi.
"Aku gak yakin. Aku rasa dia marah pada ku."
"Marah? Aku rasa tidak begitu. Terakhir kali saat aku mengangkat telpon darinya dia terdengar santai dan bahkan sempat meminta ku untuk menjaga mu. Dia meminta ku untuk membantu mu. Dia bilang kalau aku membantu mu dia akan mentraktir ku saat aku main ke Jakarta. Dan dia menjanjikan akan memberiku vocher berobat. Dia lucu kan." ucap Argi dengan tawa di ujung kalimatnya.
"Kau yakin dia tidak marah?" tanya ku ragu dengan ucapan Argi.
"Lebih baik kau menghubunginya. Meminta maaf jika kamu merasa ada salah."
"Aku sudah meminta maaf. Tapi dia malah berpikir yang aneh aneh. Serba salah aku tu."
"Itu kan tadi. Coba kau hubungi lagi. Pasti dia akan sangat senang." ucap Argi dengan meninggalkan ku sendiri di ruang tengah. Dia tampak berjalan ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di sana.
Sejenak aku berpikir sambil memainkan ponsel di tangan ku. Aku tengah merangkai kata-kata agar pertikaian aku dan Dio selesai dan kami kembali berbaikan. Butuh beberapa menit hingga aku menghubungi nomor Dio. Tak lama menunggu, telpon ku diangkat.
"Halo." jawab suara Dio di seberang datar.
"Halo pak. Gimana kabar?" tanya ku takut takut.
"Kangen."
Aku diam. Saking terkejutnya dengan kata yang diucapkan Dio. Aku pikir dia masih marah pada ku.
"Kamu gak kangen sama aku?" tanya Dio masih dengan nada datarnya.
"Bangettttttttt."
"Biasa aja. Mulai alay."
"Aku seneng bangeeettttt karena kamu udah gak marah lagi tauuuuuu."
"Emang kapan aku marah? Marah tu gak ada gunanya. Bikin pusing. Cepet tua."
"Aku kangeeennnn bangeeettt sama kamu."
"Aku gak percaya. Kalau kangen mah kasih kabar. Ini udah hampir 24 jam gak ada kabar sama sekali. "
"Ya kamu juga gak ada coba ngubungin aku."
"Wa...., gak usah ngilang ngilangin deh. Itu panggilan didiemin aja. Pesen gak dibales tu udah numpuk di hape mu."
"Heheh."
"Nyengir. Gitu siapa yang yang bilang gak perhatian? Gak ngubungin?"
"Iya sayang kuuuu."
"Kumat deh alaynya. Trus kerjaan di sana gimana? Ada masalah?"
Seketika aku terdiam mendengar kata masalah dari Dio. Otak ku langsung memikirkan Reigner yang mirip Raga itu. Otak ku sedang mempertimbangkan apakah perlu aku ceritakan pertemuan ku dengan lalaki bernama Reigner itu atau tidak. Dan akhirnya aku memutuskan.
"Alhamdulillah gak ada masalah." ucap ku cepat.
"Syukur kalok gitu. Dari tadi aku ngangkat telpon mu di kamar mandi. Tadi lagi mau ada pasien tapi aku ijin bentar ke kamar mandi buat angkat telpon mu. Jadi ngobrolnya lanjut nanti ya."
Sejenak aku terdiam karena kecewa. Aku lupa kalau perbedaan waktu ku dan Dio 6 jam. Aku lupa meski sekarang di tempat ku duduk sudah pukul 10 malam, tapi di tempat Dio masih jam 4 sore. Masih jam kerjanya. Tidak biasanya aku merasa kesal dengan perbedaan ruang dan waktu yang ada antara aku dan Dio. Mungkin karena aku merindukannya.
"Udah telponannya?" ucap Argi yang tiba tiba muncul dari arah kamar tidur.
Aku hanya tersenyum malu.
"Kalok gitu aku balik dulu ya. Kunci rumah ini aku tinggal di laci kamar. Kamu bisa bawa tiap mau keluar. Jadi gak perlu nunggu Emma pulang kalau kamu mau masuk. Anggap rumah sendiri ya. Mungkin memang tidak terlalu mewah, tapi aku harap cukup membuat mu nyaman."
"Ini sudah lebih dari cukup. Pasti kalau kau datang ke Jakarta pacarku akan mentraktir mu dan memberikan suntik vitamin gratis."
Tawa kami pecah bersamaan.
"Oh ya, kalau besok aku kosong aku akan menemani mu untuk datang ke beberapa designer furniture yang ada di list mu. Tapi aku tidak yakin." seringai Argi sambil berjalan ke pintu keluar.
Setelah Argi pergi, aku benar benar sendiri di dalam bangunan dua lantai ini. Aku sudah memiliki janji pertemuan dengan empat designer yang masing masing memilki studio furniture di daerah Kopenhagen seperti Design by us, Danish Furniture, House of Design dan Dansk design. Aku masih ingat gairah ku untuk bertemu dengan designer-designer pemilik galeri furnitur itu sebelum aku bertemu dengan Reigner. Rasanya gairah itu tiba tiba menghilang saat aku bertemu dengan Reigner. Sungguh lemah hati ku ini.
Malam ini aku bertekad untuk membangun kembali semangat yang sudah seharusnya ada untuk kunjungan ku besok. Persetan dengan keputusan Reigner. Yang jelas aku benar benar akan memaksimalkan kunjungan kerja ku ini untuk mendapat designer terbaik yang bisa bekerjasama dengan perusahaan ku dan membuat perusahaan ku menjadi perusahaan furniture terbaik. Karena saat perusahaan ku menjadi lebih besar, gaji yang kudapat juga akan lebih besarrrr. hahahhahah.
Pikiran liar ku memenuhi otak ku hingga mata ku jatuh tak berdaya dengan magnet kantuk.
***
Aku terbangun dari tidur ku karena suara pintu yang dibanting. Dengan cepat aku meraih ponsel yang ada di meja dekat ranjang tempat ku tidur dan bersembunyi di bawah ranjang kamar. Aku mencoba melihat di tengah gelapnya kamar. Tak lama lampu hidup dan dua orang masuk ke dalam kamar tempat ku berada. Dari bawah ranjang aku hanya bisa melihat kaki mereka, satu orang mengenakan highs merah dan satunya bertelanjang kaki. Aku mendengar suara merintih kesakitan. Dengan cepat aku coba membuka layar ponsel ku dan mencari nama yang bisa aku mintai tolong. Argi, Dio, dan Raga. Ketiga nama itu yang muncul di otakku dan dengan hampir bersamaan aku mengirimkan pesan singkat melalui massnger ke tiga nomor itu. Kebetulan Argi memberi ku nomor Raga sesaat sebelum kami bertemu dengan Raga di kampus siang tadi.
[HELP ME] bunyi pesan singkat ku. Lalu aku membagikan lokasi ku melalui aplikasi peta online. Aku harap seseorang dapat segera membantu ku.
Jantungku berdegub makin kencang dan cepat. Suara rintihan yang ku rasa wanita itu makin kencang. Dia seperti dicekik. Aku berpikir kalau itu pasti Emma. Tapi orang yang bersamanya siapa? Penjahat? Dari bawah ranjang kamar aku hanya bisa melihat kaki mereka yang saling bersinggungan. Tak lama aku mendengar suara seseorang di dorong ke dinding kayu dan kembali wanita itu menjerit. Aku benar benar ketakutan. Ini sudah lebih dari 10 menit sejak aku mengirimkan pesan ke tiga manusia itu. Tapi belum ada balasan. Aku rasa aku akan mati di sini.
Sepertinya Tuhan mendengar doa ku. Seseorang membunyikan bunyi bel. Aku tengah berpikir siapa kah malaikat di depan pintu itu. Seperti skenario ku. Saat bunyi bel pintu, seseorang yang tidak memakai alas kaki itu meninggalkan wanita dengan heels itu di kamar dan turun ke lantai satu untuk membukakan pintu. Dengan cepat aku keluar dari bawah ranjang untuk mengecek keadaan seseorang yang mengenakan heels itu. Namun tidak seperti dugaan ku. Seseorang yang mengenakan heels itu adalah Argi yang tampak terhuyung karena mabuk.
"Argi?!" pekik ku membantu Argi duduk di ranjang kamar dari posisinya yang semula hanya bersandar di dinding kamar. "Gi! sadar!" aku mencoba mengguncang guncangkan tubuh Argi yang berbalut gaun merah milik perempuan ini. Aku masih kaget dan bingung yang terjadi dengan Argi. Otak ku menerka menerka siapa seseorang yang tidak memakai alas kaki. Disaat aku masih mencoba membuat Argi sadar, dua orang muncul dari pintu masuk kamar.
Raga dan seorang wanita dengan pakaian tuxido lengkap. Sangat cantik. Wanita itu pasti Emma.
"Kau tidak apa apa Wa?" tanya Raga yang langsung berlari ke arah ku. Dia tampak benar benar khawatir.
"Hi Wa. Aku Emma. Maaf ya sudah membuat mu kaget. Aku dan Argi baru saja mendatangi pesta kostum. Dia jadi wanita dan aku lelaki."
"Oh." cekat ku menatap bergantian Argi dan Emma. Aku merasa mereka benar benar pasangan yang sangat kompak dan sedikit aneh. "Aku pikir tadi akan ada pembunuhan di sini." ucap ku lirih dengan ketegangan yang masih tersisa si nada bicara ku.
Raga dan Emma tertawa bersamaan mendengar ucapan ku. Aku tidak tahu apa yang lucu.
***
Aku tengah duduk bersebelahan dengan Raga yang tengah menyetir mobilnya. Entah suasana apa yang ada diantara kita. Tegang. Canggung. Takut salah bicara. Hening. Hingga tiba tiba panggilan masuk dari Dio di ponsel ku. Dengan cepat aku mengangkatnya.
"Wa?! Kamu dimana?!" teriak Dio dari seberang sana. Dia benar benar panik.
Aku terkekeh mendengar kepanikannya.
"Wa! jangan bercanda. Kamu kenapa? Ada apa?!" Dio makin panik bercampur kesal karena aku belum juga menjawab pertanyaannya. Masih menikamati kenapnikan Dio.
"I am fine Diooooo." ucap ku dengan nada nakal.
"Lah, terus maksud kamu kirim pesen butuh bantuan apa an? Becanda mu gak lucu tau."
"Sorry sorry. Tadi miss aja. Ceritanya panjang. Aku ceritanya pas aku balik ke indo aja ya."
"Gak mau. Aku maunya kamu cerita sekarang."
"Ish maksa. Aku lagi di jalan sekarang. Gak enak."
"Jalan? Sama siapa? Bukannya di sana lagi jam 3 pagi? Wa, kamu jangan macem macem deh. Aku samperin juga ni ke sana."
"Tenang calon suami. Aku gak papa. Aman. Aku lagi jalan sama temen ku di sini. Dia mau kasih aku tumpangan tidur dulu, soalnya tempat yang tadinya buat nginep aku tu lagi ada sedikit masalah."
"Sedikit masalah apa? Emangnya kamu gak booking hotel? Ih, kamu mah. Ngacok."
"Sabar sabar pak. Rasanya pengen banget ih aku video call kamu buat mengabadikan momen kamu mencak mencak gini. Ini kan momen langka." ucap ku dengan tawa renyah.
"Jangan gitu dong Wa. Aku gak bisa tidur ni kalau kamu gak cerita."
"Bapak Dio Prakoso, calon istri mu di sini baik baik aja. You need to trust me. Aku gak mau kita ujungnya berantem lagi, ok? Just be relax. Kamu tahu kan, kalau aku bilang ok itu artinya ok. Gak ada bohong bohong. Jadi cepet tidur. Besok kan masih kerja."
"Kamu mah keras kepala."
"Love you."
"Hem."
"Masih mau marah?"
"Love u most."
"Bye."
"Bye. Kabarin aku ya. Entah kenapa perjalanan mu kali ini bikin aku gak tenang."
"Ih, dukun nya kumat. Iya. Iya. Aku bakal lebih sering ngabarin kamu. Udah, gih tidur."
"Janji ya Wa."
"Iyaaaa Dioooo."
"Kalau kamu gak sering kabarin, aku bakal susulin kamu ke sana."
"Eitsss. Ada yang bakal cuti kerja niiii."
"Jangan becanda Wa. Aku serius."
"Iya boss. Kamu juga jangan telat makan ya. Entar aku makin gemuk, kamu makin kurus."
"Kamu kapan baliknya?"
"Widih udah kangen berat ya sama aku?"
"Besok udah balik?"
"Ye, emang dikira sini situ cuma 2 jam. Rencananya aku di sini 5 hari an."
"Lama sih. Biasanya cuma 3 hari."
"Eh kata siapa. Aku di korea satu minggu."
"Ya itu kan karena kamu nungguin pengen ketemu oppa oppa."
"Hahahha."
"Ketawa."
"Ya abisnya kamu lucu. Baru kali ini lawakan mu benar bener lucu."
"Ya udah. Berarti senin depan kamu udah di Jakarta ya."
"Siap bos."
"Jangan lama lama."
"Siap Pak dokter. Udah ya, aku tutup."
"Ok." ucap Dio mencoba datar.
Aku menutup sambungan telpon ku dengan Dio. Lalu aku mencoba melirik ke arah Raga yang sama sekali tidak bergeming dengan keberadaan ku. Dia benar benar kaku.
"Maaf sudah merepotkan mu. Aku tidak tahu kalau kejadiannya akan seperti tadi." ucap ku ragu ragu.
"Iya." jawab Raga singkat.
Jawaban singkat Raga membuat ku enggan untuk memberikan pertanyaan basa basi lain. Dia seperti penumpang ojek online yang akan memberikan bintang 5 jika tidak banyak bertanya. Jadi aku putuskan untuk menyamankan diri duduk di kursi penumpang dan mencoba untuk tidak menggangunya.
"Kamu lapar?" tanya Raga di tengah keheningan yang tercipta diantara kami.
Aku hanya menoleh kearahnya dengan raut ragu dan penuh tanya.
"Aku rasa ada restauran dekat sini yang masih buka." ucap Raga dengan santai. "Kamu mau kesana?" kini Raga bertanya dengan menoleh ke arah ku.
Aku terkesiap dan salah tingkah. Aku cepat cepat mengangguk dan mengalihkan pandangan ku ke jalanan.
***
Aku sudah berada di atas balkon sebuah restauran memandangi matahari terbit dari garis malamnya. Duduk di atas sofa yang menyerupai kasur berukuran sedang. Di depan ku terdapat meja segi empat yang di atasnya sudah ada dua mangkok kosong sisa makan ku dan Raga yang tengah tertidur di atas sofa yang sama dengan ku duduk. Dia tampak kelelahan setelah menyetir hampir 2 jam dari tempat Emma.
"Seseorang pernah bilang, ada dua cara hidup nyaman. Hidup dalam hati seseorang atau doa seseorang. Kalau aku ada dimana Wa?" tiba tiba Raga berkata sambil berbaring dan menutup matanya.
"Ha?" tanya ku dengan nada terkejut atas pertanyaan tiba tiba dari Raga. Aku bertanya-tanya kalau dugaan ku selama ini mengira Reigner itu adalah Raga itu benar.
"Aku pernah ada di hati mu gak? Atau di doa mu? Atau dua dua nya?" kembali Raga bertanya. Namun kini dia sudah membuka matanya dan menatap ku yang juga tengah menatapnya.
"Gak di dua dua nya." jawab ku dingin.
"Kamu jahat." ucap lirih Raga yang kembali menutup matanya.
"Kamu juga jahat." ucap ku lirih sambil mengalihkan pandangan ku dari Raga ke langit pagi yang makin cerah dengan matahari yang makin naik.
"Aku jahat kenapa?"
"Kamu pergi gitu aja gak ada penjelasan. Gak ada kabar. Itu kan jahat." ucap ku dengan anda kesal yang tertahan.
"Ibu gimana kabar nya Wa?"
"Baik. Aku jadi inget kalok aku bawa titipan Ibu buat kamu."
Mendengar kalimat ku Raga langsung bangun dari tidurnya dan duduk tegak di sebelah ku.
"Apa an Wa?" tanya Raga antusias.
Aku langsung menarik koper yang ku letakkan tidak jauh dari tempat ku duduk. Lalu dengan cekatan aku mengambil barang titipan Ibu.
"Nih." ucap ku dengan meletakkan barang titipan Ibu di atas pangkuan Raga. "Sarung." ucap ku meyakinkan penglihatan Raga yang tampak terpaku dengan benda yang kubawa jauh jauh dari negeri ku itu. "Jangan tanya kenapa Ibu nitip sarung. Aku gak punya jawabannya. Kamu bisa tanya langsung ke Ibu. Nanti aku kasih nomor WA Ibu. Biar kalok gak puas telponan biasa bisa video call an. Ibu kangen banget sama kamu tau." ucap ku panjang lebar tapi tidak membuat Raga bergeming dari menatap sarung berwarna hijau tua dengan sedikit garis panjang berwarna hitam dan merah tua. Entah ekspresi apa yang ada di wajah Raga.
"Ibu pengen aku sholat lagi." ucap Raga lemah sambil mengambil sarung yang ada di pangkuannya.
"Lagi? Emang kamu udah gak sholat?" tanya ku sedikit bingung.
"Kamu inget hari terakhir aku ke rumah mu?"
Aku mengangguk cepat. Aku benar benar masih jelas mengingatnya.
"Malem itu, abis aku keluar dari kamar mu, aku ngobrol sama ibu tentang rencana ku ke luar negeri dan rencana ku pindah agama."
"Ha!?"
"Waktu itu Ibu juga kaget. Ibu mu gak perna marah ke aku dengan rencana ku. Dia cuma kasih pesen ke aku untuk jangan terlalu deket ke kamu karena takut akan ada rasa diantara kita. Aku tahu maksud Ibu. Dia cuma gak pengen anak satu satunya pindah keyakinan kayak aku. Jadi aku putusin untuk beneran ambil tawaran ke luar negeri." cerita Raga dengan menatap sarung itu dan memutar kembali ingatannya.
Aku terdiam mendengar cerita Raga yang tidak pernah Ibu ceritakan kepada ku. Satu sisi aku merasa Ibu keterlaluan dengan mengatakan hal itu kepada Raga, tapi aku juga menganggap Raga begitu aneh dengan keputusannya pindah agama, mengingat dari kecil aku banyak menghabiskan waktu bersama ke masjid dan mengaji. Aku merasa Raga keterlaluan untuk tiba tiba memutuskan pindah agama.
"Ya udah, gak papa. Namanya juga perasaan manusia, mudah berubah. Aku gak pernah denger hal ini dari Ibu, jadi aku juga lumayan kaget kalau ternyata gitu ceritanya. Yang aku seselin itu kenapa kamu gak cerita sebelum kamu pergi ke sini. Aku pikir kamu pergi ke sini karena pacar aplikasi mu." ucap ku mencoba tenang di tengah gempuran perasaan kesal di hati.
"Aplikasi?"
"Iya. Aplikasi. Waktu itu kamu kan lagi kenalan sama orang diaplikasi. Terus gak lama kamu bilang kalau kamu mau ke luar negeri. Jadi aku pikir kamu ke sini karena dia."
Raga terkekeh. Dia menepuk nepuk ubun ubun ku.
"Dasar bocah." ucap Raga dengan menatap ku lembut. "Ibu dan kamu itu orang yang penting di hidup ku. Saking pentingnya aku berusaha gak nyakitin kalian. Aku gak tau kepergian ku yang tiba tiba bikin kalian sedih." ucap Raga dengan tetap memandang ku lembut.
Kami saling menatap. Aku dapat merasakan sinar matahari hangat menyentuh kulit ku. Perlahan tangan Raga menyentuh pipiku. Kulit telapak tangan nya dingin. Wajah Raga perlahan mendekat ke wajah ku. Aku sadar dan tahu saat ini Raga sedang ingin mencium ku. Saat itu juga aku ingat ada Dio di hidup ku. Namun saat bibir Raga menyentuh bibir ku, aku hanya memejamkan mata. Menikmati hembusan nafas dingin Raga yang lebur dengan hangatnya matahari pagi. Tubuh kami saling mendekat. Raga memeluk ku erat. Nafas ku memburu dengan nafasnya. Hampir kehabisan nafas rasanya saat Raga masih melumat bibir ku. Hingga ponsel yang ada di saku jaket ku berbunyi, membuat aku dan Raga kembali pada dunia nyata. Aku dan dia sama sama terkesiap dan mencoba membenahi diri yang baru saja larut dalam ketidak rasionalan. Aku buru buru mengangkat telpon yang ternyata dari Ibu.
"Iya bu." ucap ku pelan.
"Kamu gimana kabar dek?"
"Sehat bu. Ini lagi abis makan. Ibu gimana?"
"Ibu sehat. Ya udah, kamu ati ati ya. Kemaren malem Dio ke rumah. Bawa soto ayam langganan Ibu sama Pecel Lele yang biasa bapak beli."
"Wuah, enak dong. Terus ngobrol apa aja bu?"
"Banyak dek. Tumben tumbennya Dio banyak basa basi nya. Tanya kesibukan Ibu sama Bapak."
"Ya bagus dong. Kemajuan. Heheheh."
"Iya. Bagus. Ibu seneng. Jadi gak gitu serem lagi sama dia."
"Hahahha, emang tadinya serem banget?"
"Ya tadinya mah takut mau tanya. Tapi kemarin sore itu Nak Dio banyak senyum sama banyak cerita juga soal kerjaan dia."
"Mantap. Aku seneng banget loh denger nya."
"Iya dek. Terus dia minta ijin buat nyepetin tanggal nikahan sama kamu. Kamu kok gak bilang bilang ke Ibu?"
"Ha? Nyepetin tanggal nikah?"
"Kamu gak tau dek?"
"Eng, enggak kok, adek tau. Kita udah pernah bahas. Emang adek pernah ada omongan pengen cepet nikah. Biar lebih enak sama bebas."
"Dasar kamu dek."
"Heheh. Terus ibu jawab apa?"
"Ya ibu bilang kalau nyerahin semua ke kamu dek. Ibu udah bener kan dek jawab gitu?"
Sejenak aku terdiam sambil berpikir tentang hubungan ku dan Dio.
"Dek. Kamu masih di sana?"
"Iya bu. Udah kok. Udah bener ibu bilang gitu."
"Ya udah. Ibu cuma penasaran aja soal rencana nyepetin pernikahan kalian. Kalau kalian udah yakin mah ibu juga dukung."
"Bu."
"Iya dek."
"Kalau boleh tanya, sebenernya ibu pengennya adek nikah sama siapa si ?"
"Siapa aja yang bakal sayang sama kamu sampai mati. Yang bisa jagain kamu gantiin Ibu sama Bapak. Kenapa dek?"
"Raga?"
"Maksud nya dek? Kamu ketemu sama Raga? Gimana kabar dia?"
"Enggak bu. Aku tiba tiba inget aja pas Ibu bilang kalau bakal seneng banget dapet mantu kayak Raga. Sebelum Raga ngilang bu."
Ibu diam. Entah apa yang tengah dirasakan Ibu saat ini. Mungkin kalimat ku membuka luka lama di hati ibu. Aku juga tidak tahu kenapa bisa keluar kalimat itu dari mulut ku.
"Ya udah Bu. Gak usah dipikirin. Jiwa mah iseng aja. Dio kan udah super baik. Apa lagi udah tahu makanan kesukaan Ibu , Bapak. InsyaAllah bisa jadi suami Jiwa yang sayang Jiwa selamanya ya. Udah malem. Ibu tidur ya. Istirahat. Adek masih ada urusan bentar. Adek sayang Ibu."
Sambungan telpon dengan Ibu aku matikan. Aku menarik nafas dalam sambil melirik ke arah Raga yang tampak sudah merebahkan diri di atas sofa. Sejenak hening kembali hadir.
"Aku udah duda Wa." ucap Raga pelan memcah keheningan.
Aku diam. Tercekat.
"1 tahun. Cuma 1 tahun usia pernikahan ku. Kami punya anak 1. Cewek. Cantik. Gak lama abis nglahirin, dia pergi sambil bawa semua barang berharga yang aku punya saat itu."
Aku masih terdiam dengan tetap menatap lekat ke arah Jiwa yang tampak memejamkan matanya sambil bercerita.
"Udah tujuh tahun yang lalu. Minggu lalu dia balik lagi ke aku. Minta Anna tinggal sama dia. Anna itu nama anak ku. Aku masih ingat wajah Anna saat baru lahir. Merah. Lucu. Aku sangat sayang dia. Melebihi apapun." cerita Raga sambil perlahan bangun dari tidur nya dan kembali duduk di sebelah ku.
Raga memandangi wajah ku yang aku rasa tampak kaget dan tegang. Dada ku naik turun mendengar semua cerita Raga. Ada rasa marah dan iba ke Raga. Selama ini aku hanya berpikir kalau Raga jahat. Hanya memikirkan dia sendiri. Aku tidak pernah berpikir kalau seiring berjalannya waktu manusia akan memiliki kehidupannya sendiri. Melewati masa masa berat yang terlalu ringan untuk bisa dikatai jahat oleh manusia seperti ku yang tidak pernah mengalami pahit nya hidup seperti yang Raga alami.
"Anna sekarang sudah sekolah. Dia senang sekali punya banyak teman. Tapi sesekali dia akan datang pada ku sambil menangis karena ingin memiliki seorang Mama." Raga melanjutkan ceritanya dengan terkekeh mengingat tingkah putri yang sangat dia sayangi itu. "Meski aku sudah cukup pintar dan selalu bisa menjawab pertanyaan yang dilontar kan oleh orang lain, tapi aku selalu diam saat Anna bertanya soal Mama nya. Rasanya aku belum sanggup menceritakan kisah Mama nya yang pergi meninggalkannya karena ingin hidup bebas. Aku takut Anna akan minder dan menutup dari kasih sayang siapa pun. Termasuk kasih sayang dari ku. Aku takut dia merasa tidak pantas dicintai." Raga menghela nafas dalam. Aku merasakan cemas dan sedih yang Raga rasakan.
"Aku senang sekali waktu Argi memberitahu ku kalau ada orang dari Indonesia yang ingin bertemu dengan ku dan itu kamu. Aku merasa jalan cerita hidup ku memang ditentukan harus kembali berkutat dengan kehidupan kamu dan keluarga mu. Saat aku tahu kamu ingin bertemu dengan ku jujur aku sempat merasa takut. Takut kamu akan membatalkan rencana mu karena tahu kalau Reigner itu Raga. Orang yang tiba-tiba menghilang dari kehidupan mu tanpa bilang apa apa. Tapi rasa takutku gak jauh lebih besar dibanding rasa senang ku ketemu kamu. Entah kenapa aku selalu merasa kalau kamu dan Ibu selalu punya maaf buat ku. Dan saat aku ketemu kamu aku yakin kalau kamu wanita terbaik yang pernah aku kenal. Dan aku berharap bisa nemenin aku sampai nanti." Raga tersenyum sambil menatap ku.
"Anna pasti bangga punya ayah kayak kamu." ucap ku setelah sejenak terdiam memikirkan respon yang tepat untuk Raga yang entah benar atau tidak baru saja meminta ku menjadi kekasihnya. Aku enggan memastikan dugaan ku tentang tawaran Raga karena aku masih sangat mengingat Dio. Iya, Dio calon suami ku.
"Jadi Wa, ak--" ucap Raga terhenti dengan aku yang tiba-tiba langsung menimpali.
"Jadi, hari ini aku harus jalan sebelum jam 8 biar bisa ketemu sama designer lainnya. Aku ikutin saran kamu. Ngerjain check list ku disi kan." ucap ku dengan mengalihkan pandangan ku dari mata Raga ke arah datangnya sinar matahari pagi yang makin hangat.
Raga tidak meneruskan kalimatnya. Aku yakin dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Dia juga sudah tahu jawaban seperti apa jika dia berani bertanya terkait lanjutan hubungan ku dan dia. Meski aku tidak pernah secara langsung bercerita tentang Dio, tapi aku yakin dia tahu saat aku tengah mengobrol dengan Dio di telpon atau saaat aku membicarakan Dio dengan Ibu saat itu. Rasanya aku juga malas untuk memamerkan hubungan ku dengan Dio. Apa lagi terang terangan bilang ke Raga kalau aku tidak akan pernah bisa menerima pinangannya karena aku punya Dio. Oh, betapa besar kepalanya aku menyimpulkan jika Raga menginginkan ku menjadi pendamping hidup nya.
"Kamu mau jalan sendiri atau perlu aku temenin?" tanya Raga menawarkan diri.
"Karena kamu udah nolongin aku malem ini, jadi aku rasa udah cukup si." ucap ku santai.
"Malem ini tu aku nolongin Argi dan Emma ya. Bukan kamu. Aku nolongin mereka buat bisa ngesex bebas di kamar Emma. Kalau ada kamu mana bisa mereka lanjutin pesta mereka." ucap Raga dengan terkekeh.
Aku hanya diam sambil memanyunkan bibir ku. Karena yang dikatakannya benar. Aku hanya menjadi pengganggu di rumah Emma.
"Tapi kalau memang kamu bisa sendiri ya gak papa. Nanti kalau ada masalah lagi, kamu bisa hubungin aku lagi. Jangan ngrasa gak enak gitu."
"Hem. Makasih." ucap ku cepat.
"Jadi kapan kamu mau ketemu Anna?"
"Iiihhh pengen bangeettttt." aku segera memalingkan wajah ku untuk menatap girang ke arah Raga. Saking girangnya aku untuk bertemu dengan Anna. Bocah kecil yang pasti sangat imut.
***
Aku sudah berada di dalam ruang tamu rumah Raga. Langit sudah gelap. Jam 8 malam. Aku dapat mendengar suara anak perempuan merengek di ruang lain rumah Raga yang cukup besar dan mewah tersembunyi di balik hutan kecil dekat pusat kota. Aku berusaha tetap duduk di kursi kayu panjang dan besar, meski sebenarnya terlalu banyak benda benda unik yang ada di ruang tamu Raga yang ingin aku lihat dan aku abadikan di dalam ponsel ku. Tapi aku menahannya. Aku tidak mau bersikap kurang sopan.
Tak lama aku menunggu hingga muncul Raga yang tengah menggendong seorang bocah kecil berambut hitam dan mata biru. Sangat cantik.
"Ayo, sapa Mama." ucap Raga dengan meletakkan Anna di atas pangkuan ku.
"Mama?" tanya Anna dengan menatap ku.
Aku hanya tersenyum kaku. Kejailan Raga benar benar tidak lucu. Bagaimana bisa dia berbohong pada Anna kalau aku adalah Mama nya. Jelas jelas rambut ku ikal dan mata ku coklat. Berbeda dengan Anna yang super imut dan cantik ini. Tapi aku juga tidak mau melewatkan momen untuk dapat dekat dengan Anna. Dia terlalu menggemaskan untuk dikecewakan dengan pengakuan ku kalau aku bukanlah Mama nya. Aku hanya tante dari negeri seberang yang mencoba menghindari bertemu dengan Papa nya namun kuasa Tuhan menakdirkan hal yang sebaliknya.
Aku memeluk hangat Anna. Anna pun belum menangis sejak Raga meletakkan nya di atas pangkuan ku.
Sudah pukul 10 malam. Raga baru saja menidurkan Anna yang lelah setelah semalaman bermain dengan ku. Aku sangat menikmati berbincang dengan Anna yang sangatlah cerdas untuk anak di usianya. Dia banyak tersenyum dan kerap membantuku menyelesaikan permainan puzle yang kami mainkan bersama. Dia juga sangat sopan. Raga benar benar berhasil mendidiknya.
"Kamu mau tinggal di sini kan?" tanya Raga di atas meja makan tempat aku dan dia menghabiskan mie goreng dan teh hangat.
"Boleh. Ngirit pengeluaran." ucap ku santai dengan melahap mie goreng racikan Raga yang rasanya masih sama seperti dulu. Enak dan pedas.
"Maksud mu buat selamanya. Bareng sama aku dan Anna." ucap Raga lembut.
Aku terdiam begitu mendengar maksud kalimat Raga. Aku meletakkan sendok makan ku dan menatap Raga yang juga tengah menatap ku.
"Ga..." ucap ku lembut memanggil namanya.
"Iya Wa..." jawab nya tak kalah lembut. Kami tidak pernah bercakap dengan intonasi selembut ini.
"Aku udah punya calon. Kamu tahu kan..."
"Iya Wa..."
"Aku gak tau yang kamu maksud tinggal di sini bareng kamu dan Anna itu apa berarti kita nikah atau kamu minta aku untuk jadi sodara mu. Jagain kamu dan Anna. Tapi apa pun itu aku gak bisa. Aku punya kehidupan di sana. Ibu, Bapak, calon suami ku."
"Iya Wa aku tahu. Aku salah udah nempatin kamu di posisi sulit ini. Aku gak berpikir panjang waktu minta kamu untuk tinggal di sini bareng aku dan Anna. Mungkin karena aku liet Anna udah nyaman sama kamu, dan aku juga sayang sama kamu jadi aku terlalu berharap kalau kamu bisa stay di sini bareng kita."
"Ga.... Kamu lelaki hebat. Aku bangga sama kamu. Aku selalu doain yang terbaik buat kamu. Selamanya."
"Makasih Wa. Aku tahu kamu sayang sama aku."
"Percaya deh, nanti pasti akan ada wanita yang tepat buat kamu dan Anna."
"Jangan ngomong gitu deh Wa. Aku makin sedih."
"Jangan sedih donnggg..." Aku mengusap pipi Raga lembut. Mencoba memberikan kekuatan pada lelaki super tangguh yang membuat hati ku berdegub kencang. Lelaki pendiam yang enggan menyusahkan orang lain.
"Aku sedih tiap kali inget Anna. Aku pikir aku gak akan nglakuin kesalahan yang sama kayak orang tua ku. Berpisah dan ninggalin anaknya."
"Kamu gak ninggalin Anna kok. Dan bukan kamu yang pengen ada perpisahan."
"Butuh waktu untuk Anna paham semua itu Wa. Sekarang Anna cuma bisa berpikir kalau dia hanya punya Ayah."
"Hey, aku di sini. Mama nya Anna. Inget ituuu."
Aku mengacak acak rambut Raga dengan ekspresi gemas.
"Wa, kamu mau nemenin aku tidur malem ini gak?" tanya Raga dengan memegang tangan ku yang tadi merusak tatanan rambut nya. Dengan wajah sendunya dia bertanya pada ku.
Aku diam. Jantung ku benar benar berdebar. Aku tidak bisa mengontrol emosiku. Aku berusahan memunculkan akal sehat ku namun masih belum berhasil. Aku hanya terpaku melihatnya dan tak lama anggukan pelan dari ku. Entah itu artinya apa.
***
Perlahan aku membuka mataku. Aku menarik nafas ku dalam. Aku tengah berada di atas ranjang kamar Raga. Tanpa busana. Hanya selimut tebal berwarna hitam yang menutupin hampir seluruh tubuh ku. Aku menggeleng gelengkan kepala ku, mencoba membuang ingatan ku semalam. Ingatan dari sebuah kejadian yang tidak seharusnya terjadi. Di saat aku tengah merefresh ingatan ku, tiba tiba menghambur Anna dari arah pintu masuk kamar.
"Mamaaaa!!!" teriak Anna dengan berlari kecil ke arah ku.
"Dia ingin mengucapkan selamat jalan sebelum berangkat ke sekolah." ucap Raga dengan senyum penuh arti kepada ku.
"Ma, nanti sepulang sekolah kita main lagi ya. Aku rasa hari ini aku akan menceritakan permainan kita semalam kepada teman teman ku." ucap Anna dengan wajah berbinar yang benar benar membuat ku lupa akan masalah yang ada diantara aku dan Raga.
"Belajar yang rajin ya sayang. Jadi anak baik dan manis. Ok?" ucap ku masih berlindung di balik selimut ku.
Dengan riangnya Anna mengiyakan kata kata ku lalu dia bergegas pergi keluar kamar ku. Sepertinya Raga akan mengantarkan nya ke sekolah. Entahlah. Perasaan ku campur aduk.
Setelah Anna dan Raga tidak lagi di kamar, aku masih enggan untuk bangun. Rasa malas dan kacau yang ada di tubuh ku. Aku benar benar merasa bodoh dengan hal yang aku lakukan semalam. Aku merasa sangat bersalah, entah kepada siapa. Aku mencoba membuang semua bayangan tidak mengenakan yang terjadi semalam dengan kembali fokus untuk mengunjungi sisa designer yang belum sempat aku temui. Dari lima disigner yang ada di list ku, sudah 3 orang yang berhasil aku temui. Tapi ketiganya aku tidak merasa begitu cocok. Reigner alias Raga masih yang terbaik. Hari ini aku tinggal bertemu dengan 2 designer yang ada di list ku. Argi berjanji akan menemani ku sebagai ucapan maaf karena gagal memberiku tumpangan tempat tinggal. Tapi masalahnya Argi tidak tahu kalau sekarang aku ada di tumah Raga. Tidur di atas ranjang sahabatnya tanpa mengenakan sehelai benang pun. Aku tidak bisa membayangkan apa yang Argi akan seperti apa kepada ku kalau dia tahu hubungan ku dan Raga karena saat dia masih menjadi teman kerja ku sedikit banyak dia tahu Dio dan seingat ku mereka pernah bertemu saat aku menghadiri ulang tahun perusahaan kami dua tahun yang lalu. Aku harus melakukan sesuatu. Aku pikir aku harus berkemas dan segera pulang ke Jakarta.
***
Aku sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian untuk bertemu dengan klien ku. Aku juga sudah memberesi koper ku dan siap untuk meninggalkan rumah Raga yang masih kosong karena Raga masih belum kembali dari mengantar Anna ke sekolah. Beruntungnya aku. Pikir ku. Saat aku berjalan keluar kamar Raga, panggilan dari Dio masuk yang membuat jantung ku berdegub kencang. Aku tidak mengangkat telponnya dan hanya meninggalkan pesan jika aku tengah bertemu dengan klien ku. Setelah aku mengirimkan pesan, Dio tidak mencoba untuk menelpon ku lagi. Alasan ku tepat.
Aku sudah berada di dapur Raga. Aku merasa haus dan sedikir lapar. Dengan inisitaif aku mengambil beberapa buah dari dalam kulkas dan sebotol susu.
"Ada yang bisa dibantu nona?" tiba tiba suara Raga muncul dari arah ruang tengah. Dia sudah berdiri di ambang pintu dapur. "Sebelum pergi lebih baik sarapan dulu. Argi juga akan datang agak terlambat karena ada sedikit keperluan dengan Emma." ucap Raga dengan berjalan ke arah ku yang tampak sibuk merampok kulkas nya.
Raga mengambil barang barang yang aku ambil dari kulkas nya. Dia meletakkan satu persatu makanna itu di atas meja dapur tak jauh dari jangkauannya.
"Dari dulu tu kamu suka buru buru." ucap Raga dengan senyum yang aku tidak tahu maksudnya.
"Maaf buat semalam." ucap ku cepat tanpa memandang Raga.
"Maaf kenapa? Kamu salah?"
"Gak tau. Mungkin karena udah bikin kamu kecewa."
"Wa. Jangan gampang ngambil kesimpulan."
"Tapi emang gitu."
"Aku seneng banget kita sem--"
"Stttt. Iya, udah. Jangan diungkit lagi."
"Kayaknya kamu yang kecewa."
"Enggak."
"Terus kenapa gak mau ngungkit."
"Ya karnaaa..." kalimat ku masih menggantung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
"Aku sayang sama kamu. Dan aku ingin kamu dapet yang terbaik. Semalem aku makasih banget karena kamu udah nemenin aku tidur."
"Tapi kita gak--"
"Iya. Gak papa. Aku tetep seneng. Aku gak masalah kita beneran ngesex atau enggak. Yang penting aku bisa bareng kamu. Itu cukup. Tapi kalau kamu mau coba yang pertama bareng aku juga gak papa si. Nanti aku minta restu dulu ke Ibu buat minang kamu." ucap Raga dengan tawa canda sambil berjalan ke sisi kompor untuk membuat makanan untuk ku.
Ya. Semalam tidak benar benar terjadi sesuatu antara aku dan Raga. Kami sama sama bergairah. Saling mencumbu dan membuka pakaian kami masing masing. Hingga saat Raga akan melakukannya, aku hanya terdiam menggeleng. Raga tahu kalau aku tidak pernah bercinta sebelumnya. Lalu dia memeluk ku erat dan kami kembali bergelut dengan tubuh kami tanpa melakukan nya. Itu yang terjadi semalam.
***
Aku sudah berada di dalam mobil Argi menuju bandara setelah bertemu dengan dua designer interior yang ternyata belum juga bisa melebihi ekspektasi ku terhadap Raga. Aku takut kalau aku terlalu terbawa perasaan untuk menilai klien yang paling tepat untuk perusahaan ku. Itu sebabnya aku memutuskan untuk bertanya ke Argi.
"Gi." ucap ku membuka pembicaraan.
"Hem."
"Menurut mu gimana?"
"Apa nya?"
"Designer nya?"
"Ya aku kan gak ketemu sama semuanya. Jadi aku gak bisa kasih pendapat yang beneran tepat. Kalau menurut mu?"
"Emmm, aku juga bingung si."
"Gak usah pura pura bingung deh. Jelas jelas udah ada di otak mu itu Reigner."
Aku terkekeh. Argi membaca pikiran ku.
"Keliatan di mata mu."
"Gak usah jadi orang pinter deh."
"Udah tenang aja. Reigner ok banget kok. Bos pasti akan seneng kalau kamu bisa bawa Reigner balik ke Jakarta."
"Aku ragu."
"Ragu kenapa? Ragu sama kemampuan Reigner?"
"Enggak. Bukan itu. Aku ragu bakal bisa bawa Reigner ke Jakarta."
"Wait. Reigner udah bisa bawa kamu ke rumahnya. Menurut ku mudah buat kamu bawa dia ke perusahaan."
"Maksud kamu?"
"Ya kita udah dewasa lah. Gak perlu muna juga."
Aku tertegun dengan ucapan Argi yang benar benar membuat ku naik pitam.
"Mending kamu turunin aku di sini deh. Aku mau naik subway aja." ucap ku kesal.
Argi terdiam. Dia tahu kalau aku marah.
"Aku mau turun Gi." ucap ku dengan tegas dan menahan amarah ku.
"Ok." ucap Argi tak berdaya.
Argi menepikan mobilnya lalu aku bergegas keluar dari dalam mobil dan menenteng koper ku. Dengan kesal aku menarik koperku menuju stasiun subway tidak jauh dari lokasi Argi menurunkan ku. Argi masih di sana saat aku sudah berjalan jauh dari mobil nya. Entah apa yang sedang dia tunggu.
Aku sudah duduk dalam subway menuju bandara Kopenhagen. Aku mempercepat rencana pulang ku yang seharusnya besok. Aku sudah terlalu pusing dengan keadaan ku di sini. Hati ku lelah. Begitu juga tenaga ku sudah terkuras habis. Aku ingin pulang. Aku ingin tidur dengan Ibu.
***
Hari Senin. Hari kerja. Namun aku meminta untuk cuti lewat sambungan telepon ke bos ku. Aku masih terlalu lelah sepulang dari Denmark. Barang barang ku masih di dalam koper. Terlalu malas untuk mengeluarkannya. Setelah mendapat ijin untuk tidak berangkat pun aku langsung menonaktifkan ponsel ku. Aku benar benar lelah badan dan pikiran.
Aku sudah melahap sarapan nasi goreng yang dibuat oleh Ibu dua jam yang lalu. Kini aku sedang terlentang di depan TV , menonton acara gosip yang kurasa sudah lama sekali tidak pernah kunikmati. Aku mulai terkantuk. Namun panggilan Ibu menggangu semua kenikmatan berleha leha ku.
"Iya bu!!" teriak ku menjawab panggilan Ibu dari arah taman depan rumah.
"Sini!!" jawab ibu masih dengan triakan mautnya.
Aku bangun dari leha leha ku dan berjalan ke arah sumber suara Ibu ku.
Aku berdiri di ambang pintu samping rumah yang menuju taman dimana Ibu berada. Saat aku sadar ada sosok lain di taman selain Ibu, spontan aku meneriakkan namanya.
"Anna!!!?" panggil ku kepada gadis mungil yang sedang bermain dengan bunga bunga di pekarangan taman Ibu.
"Mama!" teriak Anna sambil menghambur ke arah ku.
Dengan spontan aku memluknya dan menciuminya.
"Papa mana?" tanya ku di sela temu kangen kita.
"Kerja." jawab lugu Anna.
Aku segera membawa masuk Anna ke dalam rumah. Meninggalakan Ibu yang masih berdiri terpaku bingung dengan kedatangan bocah kecil ke rumah kami.
Aku mengajak Anna masuk ke dalam kamar ku dan memberinya beberapa boneka milik ku. Cepat cepat aku mengaktifkan ponsel ku. Seperti dugaan ku. Ada satu panggilan tidak terjawab dari Raga dan banyak panggilan lainnya dari bos ku dan Dio. Aku bingung akan menghubungi siapa dulu. Dan akhirnya aku memutuskan menelpon bos ku. Tak lama menunggu, telpon ku diangkat.
"Halo Wa." jawab bos ku di seberang.
"Halo bos. Kantor gimana ? Aku perlu ke sana gak?" ucap ku ragu ragu.
"Gak usah. Kantor aman kok. Kamu santai aja cuti."
"Serius bos?"
"Wa. Aku tu seneng banget kamu udah bisa narik Reigner partneran sama perusahaan kita. Aku yakin penjulan kita bakal naik ni. Terus tadi pas ketemu sama Reigner sebentar kita udah ada ide buat bikin furniture VVIP. Kamu tahu kan itu apa. Kita bakal langganan sama petinggi. Duhhh, gak sabar aku ketemu artis atau pejabat niiii." ucap atasan ku yang doyan dengan barang barang gemerlap itu.
"Reigner beneran ke kantor bos?" tanya ku masih tidak percaya.
"Heh! kamu gak percaya sama aku? Dikira aku ngimpi??"
"Enggak gitu bos. Tapi aku pikir tadinya dia belum mau ke sini."
"Udah ah. Aku mau nyiapin materi presentasi di depan pemegang saham sama babang cakep Reigner."
"Ya udah bos. Sukses ya."
"Hem. Bye."
Telpon ku dengan bos sudah mati. Aku benar benar masih belum menyangka kalau sekarang Reigner sudah ada di kantor ku. Dan Anna ada di kamar ku. Ini benar benar gila.
Dan Ibu. Aku harus menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada Ibu. Dia pasti bingung. Aku harap Ibu tidak marah pada ku.
"Ya ampuuunnn, jadi ini cucu nenek yaaaa??!!" pekik Ibu ke Anna sambil menggendong bocah yang sudah lumayan berat itu.
Anna memang anak yang baik. Dia selalu ramah dan baik kepada siapa pun. Termasuk Ibu. Kami menghabiskan waktu hingga menjelang sore bermain di taman dan beberapa mainan sisa peninggalan masa kecil ku.
Langit sore sudah tampak. Sebuah mobil berhenti di depan rumah ku. Itu mobil Reigner.
Dia keluar dari mobil dengan membawa sesuatu di tangannya. Bingkisan. Aku rasa martabak.
Aku yang tengah duduk di kursi taman tanpa sadar berdiri dan menyambut kedatangan Raga yang berjalan melalui jalan setapak menuju teras rumah.
"Hai." sapa Raga dengan senyum yang entah mengapa membuat ku hangat.
"Hai juga." jawab ku kaku.
"Ibu mana?"
"Kok Ibu?"
"Terus aku harus tanya siapa? Kamu?"
"Anna."
"Anna kan udah sama Mamanya di sini. Jadi aku gak perlu khawatir. Yang aku gak tau kabarnya kan Ibu."
"Dasar. Mereka di dalem." ucap ku sambil menunjuk pintu masuk.
"Kamu gak mau nganter aku ke dalem?"
"Yaelah. Kayak gak biasanya aja."
Raga terkekeh dan masuk ke dalam rumah. Aku masih di luar. Memandangi langit sore yang tampak jingga. Hingga panggilan Dio masuk ke ponsel ku.
"Halo." jawab ku datar.
"Dingin banget. Kamu di sana gak pernah slimutan ya makannya dingin gini." Dio mencoba membuat lelucon yang gagal membuat ku tertawa. "Kamu lagi bete ya? Kenapa? Susah ya di sana?"
"Enggak kok. Aku udah di rumah."
"Kamu dimana?"
"Rumah."
"Rumah siapa?"
"Rumah Ibu."
Sejenak Dio terdiam. Aku tahu dia pasti marah karena aku tidak mengabari kalau aku sudah pulang.
"Aku ke rumah. Jangan kemana mana." ucap Dio tegas.
Setelah telpon dari Dio mati, aku hanya diam di teras rumah sambil menikmati gerimis tipis yang tiba tiba jatuh. Aku harap hujan ini bukan pertanda buruk. Aku harap gerimis ini membawa kebahagiaan untuk siapa pun. Termasuk Dio.
***
Sudah pukul 7 malam. Anna sudah mulai terkantuk saat makan malam bersama Ibu, aku, bapak, dan Reigner di ruang makan. Ibu dan Bapak menyambut hangat kedatangan Raga. Mereka masih sama. Menganggap Raga adalah anak mereka sendiri. Apalagi Bapak. Dia bangga kepada Raga karena telah menjadi lelaki mandiri dan kuat. Kedua orang tua ku tidak mempermasalahkan kegagalan hidup yang dialami Raga. Malah mereka membersarkan hati Raga. Aku hampir menangis mendengar percakapan mereka di tengah kekhusukan ku menyantap hidangan malam.
Reigner membawa Anna tidur di kamar tamu yang sudah dirapihkan oleh Ibu. Mereka masuk ke kamar sedangkan aku dan Ibu membereskan piring kotor bekas makan kami. Bapak langsung menuju ruang tengah untuk menonton acara berita kesukaannya.
Aku sudah hampir selesai mencuci piring saat suara seseorang yang sangat aku kenal mengucap salam dari ruang tamu.
Dio sudah sampai.
Aku menarik nafas sebelum aku keluar menyambut kedatangan Dio. Aku mencoba sedikit merapikan tatanan rambut dan pakaian yang melekat di tubuhku saat itu. Baru aku bergegas ke pintu ruang tamu.
Pintu ruang tamu terbuka. Dio ada di sana. Tersenyum malu malu sambil memberikan bingkisan martabak kesukaan Ibu. Namun wajah sumringah Dio berubah saat dia melihat bungkusan yang sama dengan yang dia bawa ada di meja ruang tamu.
"Ada tamu?" tanya Dio curiga.
"Iya, ada." jawab ku ragu.
"Siapa?" tanya Dio dengan nada menginvestigasi.
"Raga." jawab ku tak berdaya.
Dio diam mendengar jawaban ku. Dia melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang tamu dan meletakkan martabak nya di sebelah martabak yang dibawa Raga. Dio duduk di kursi ruang tamu masih dengan diamnya. Sampai muncul Bapak dari dalam.
"Ada tamu siapa?" tanya Bapak basa basi dengan ikut duduk di kursi ruang tamu. Berhadapan dengan Dio.
Dia tersenyum seramah mungkin dan mencium punggu tangan Bapak. Awalnya dia tidak melakukan itu, tapi setelah beberapa kali datang ke rumah, Ibu menyarankan agar Dio mencium tangan bapak kalau bertemu. Kalau kata ibu, itu tanda penghormatan.
"Oh nak Dio." ucap Bapak lantang.
"Iya pak. Saya." jawab Dio canggung. Meski sudah hampir ratusan kali datang ke rumah, Dio masih saja kaku kalau harus berhadapan dengan Bapak.
"Kamu gak bikinin minum dek?" tanya Bapak yang secara tidak langsung untuk segera ke belakang , membuatkan suguhan minuman untuk mereka.
Dengan sedikit ragu aku berjalan ke dapur, meninggalkan Raga di ruang tamu bersama dengan Bapak. Aku harap Dio bisa membahas sesuatu yang menarik dengan bapak. Seperti Raga yang bisa bercerita panjang lebar saat mengobrol dengan Bapak.
Aku merasa berdosa tiap kali mengingat Raga. Aku merasa tidak adil tiap kali aku membandingkan Raga dengan Dio. Karena aku tahu mereka berbeda. Namun aku juga tidak tahu saat ini mana yang benar benar membuat ku nyaman.
Aku sudah di dapur dengan Ibu yang ternyata sudah menyiapkan minum untuk Dio. Ibu tahu kalau yang datang Dio. Ibu tampak senang. Apalagi saat aku memberitahu kalau Dio membawa martabak kesukaan Ibu. Sebelum aku keluar membawa minuman hangat itu ke ruang tamu, ibu berpesan pada ku satu hal. Hal yang membuat ku hampir menangis dibuatnya.
***
Bapak sudah kembali masuk ke dalam ruang TV. Kembali larut di acara TV kesukaan Ibu. Tinggal ada aku dan Dio di ruang tamu. Kami saling duduk berhadapan. Diam. Saling memandang dengan tatapan yang memiliki seribu arti.
"Aku nunggu kamu cerita pengalaman mu di sana. Biasanya abis jalan jalan kamu semangat banget ceritanya. Ada masalah?" tanya Dio dengan lembut dan sedikit dingin.
"Iya. Biasanya gitu." jawab ku singkat.
"Ya udah kalau belum mau cerita. Tadi pas kamu bikin minum, aku ngomong ke Bapak mau nglamar kamu bulan depan."
Aku terperanjat mendengar ucapan Raga. Mataku tajam menatap nya. Ada amarah di wajah ku.
"Aku ada salah Wa? Kamu jadi gak suka gitu kalau aku mau nglamar kamu. Kalau memang kamu udah gak mau bareng aku lagi ya udah. Bilang baik baik. Jelasin baik baik alasannya apa dan kenapa. Jangan berharap aku tahu isi pikiran kamu." Dio menatap ku dingin. Ada raut sedih di wajah Dio.
Dan aku masih diam.
"Jangan diem Wa. Kita tahu kalau masalah gak bisa selesai hanya dengan diem. Aku rasa aku juga gak sebodoh itu buat mahamin mau mu."
"Mau jalan ke luar gak?" tanya ku mengakhiri ketegangan diantara kami.
Dio cepat mengangguk dan berdiri dari kursinya.
Aku keluar rumah hanya dengan sandal jepit dan pakaian seadanya yang aku kenakan saat itu. Kami berjalan di sekitar taman di depan rumah ku. Lampu taman tidak begitu terang. Temaram. Jalanan masih basah karena gerimis tadi.
"Bau rumputnya enak ya. Tadi Ibu abis motongin." ucap ku mengawali pembicaraan ku dan Dio.
"Hem." jawab Dio singkat.
"Kamu apa kabar?" tanyaku dengan menggandeng lengan Dio.
"Gak baik."
"Galak banget si."
"Kamu juga."
"Ih, kapan aku galak?"
"Diem aja. Aku takut."
"Cie, ada juga yang bikin Pak Dokter takut."
"Kamu kenapa?" Raga menghentikan langkah kami. Kami saling berdiri berhadapan. Kami saling memadang.
Aku merangkul leher Dio dan mencoba mengangkat tubuh ku agar dapat mencium bibir Dio.
Tangan Dio merespon tindakan ku dengan merangkul pinggul ku dan mencoba merah wajah ku dengan mundukkan kepalanya. Kami saling berciuman. Melepas rindu. Memastikan rasa yang ada di dalam hati.
"Maaf." ucap ku lirih saat aku melepas ciuman ku.
Dio hanya menatap ku bingung.
"Aku gak baik buat kamu." lanjut ku bicara.
Dio masih diam sambil menatap ku. Mencari penjelasan dari kalimat ku yang terpotong potong.
"Kamu pantes dapet yang jauh lebih baik dari ku." air mata mulai naik ke pulupuk mata ku.
Dio masih diam dan makin menatap ku.
"Kamu boleh benci ke aku. Tapi jangan ke orang tua ku. Mereka sayang ke kamu, meski kadang mereka suka kaku di depan mu. Tapi aku pastiin kalau kamu dengan orang lain pun,kamu bisa maen ke sini kapan aja." air mata mulai menetes di pipi ku.
"Bulan depan aku ke rumah mu bareng keluarga ku. Kamu mau aku bawain apa buat seserahan?" tanya Dio dengan nada santai seolah tidak perna mendengar kalimat ku.
"Diooo." aku memohon agar Dio tidak melanjutkan rencana lamarannya.
"Iya Waaa. Kamu nanti list aja barang barang apa aja yang kamu mau. Kalau perlu ke luar negeri buat nyarinya gak papa. Aku bisa ngambil cuti buat pergi bareng kamu. Beli barang yang kamu pengenin. Atau kalau kamu gak suka pergi bareng aku, kamu bisa pergi sendiri."
"Dio!" bentak ku. Aku tidak pernah melakukan itu sebelumnya. "Aku ada main sama Raga. Kemarin di Denmark aku ketemu dia dan kita tidur bareng." ucap ku dengan berat. Rasanya tidak tega untuk menceritakannya kepada Dio. Tapi Dio tampak tidak mengerti dengan kata kata ku sebelumnya.
Dio diam sambil memandang ku. Dia berjalan berlahan keluar dari pagar rumah dan pergi dengan mobil nya. Aku pikir ini malam perpisahan kami. Iya. Sebuah akhir.
Aku memandangi mobil Dio yang makin menjauh dan hilang di ujung jalan. Setelah itu aku menangis sejadi jadi nya di taman. Terisak. Sambil menahan kenyataan kalau aku sudah menyakiti orang yang benar benar peduli pada ku. Menyayangi ku. Dada ku benar benar sakit.
-Selesai-
Komentar
Posting Komentar