Aku Cuma perlu nikmatin apa yang ada di depan
mata. Tidak perlu tergoda dengan cahaya dari rumah sebelah. Aku hanya perlu membuat
nyalaku lebih terang. Tapi dengan apa?? Tuhan. Bantu aku menyalakan cahaya ku
dalam kesendirian ku. ya tuhan. Sayangi aku. Aku membutuhkan mu. Sangat.
Kirimkan aku sosok itu. Segera. Amin. Sosok yang
akan menemani dalam kesendirian ku.ya. aku masih cukup normal untuk berharap.
Ya tuhan. Aku masih percaya akan kuasa mu. Segera. Aku mencintai diriku dan
diri Mu. Aku yakin itu tak kan lama lagi. Aku tahu itu. Aku yakin. Aku harus
yakin. Hanya harus yakin.
Doa penutup di ujung malam Senin.
Sore itu pulang kerja aku menyempatkan diri
mampir ke taman bermain sekitar kantor ku. Sekedar bermain ayunan anak TK
sembari menikmati eskrim.
Saat aku tengah bermain ayunan, seorang anak SMA
berjalan mendekati ku. Dia tampak tidak baik. Ada anting di telinganya dan
eyeliner hitam tebal melingkari matanya.
“Minta
uang nya kak.” Anak SMA itu menyodorkan telapak tangannya yang tampak kotor
penuh cat hitam dan merah.
“Buat
apa?” aku mencoba menutupi rasa takut ku dengan sedikit meninggikan suara ku.
“Aku
haus.”
“Pulang
saja ke rumah mu. Pasti ibu mu mencari mu.” Aku beranjak dari ayunan, namun
seketika dia menarik tangan ku. Reflek aku membuang tangannya dan langsung
mengambil langkah seribu. Namun langkah seribu ku gagal saat dia menarik tas
ku.
“Kakak
gak sopan. Mentang-mentang aku masih anak SMA.” Anak itu menyeringai kejam.
Aku menunduk takut. Dia menggeledah tas ku. aku
tak berani teriak minta tolong. Entah ada perasaan takut dia akan menusuk ku
dengan sesuatu atau meninju wajah ku. jadi aku pasrah saat dia mengambil
beberapa lembar lima puluhan dari dompet ku.
****
“Sial.
Sial. Sial.” Umpat ku lirih sambil membenahi isi tas ku yang berserakan di
tanah pasir dekat ayunan. Lokasi kejadian pemalakan yang terjadi pada ku.
rasanya ingin menangis tapi air mata tak juga turun dari pelupuk mata ku. Malah
rasa menggelitik masuk ke alam pikiran ku hingga membuat ku terkekeh sembari
mengumpat diri ku atas kebodohan yang terjadi hari ini.
“Hidup
memang sulit.” Ucap ku lirih. Beranjak dari posisi jongkok ku.
“Ha-
hai!” Seorang lelaki memakai baju layaknya pekerja kantoran menyapa gagap. Dia
tampak gugup. Dia membenahi kaca matanya saat kembali mengajak ku bicara.
“Maaf. Ma-Maafkan adik ku.”
“He?
Siapa?” aku bingung. Aku memutar bola mata ku, mengingat kejadian perampasan
tadi. “Itu??”
“Iya. Itu adik ku. Maaf ya. Ini...” Dia menyodorkan beberapa lembar uang ratusan dengan malu-malu.
“Iya. Itu adik ku. Maaf ya. Ini...” Dia menyodorkan beberapa lembar uang ratusan dengan malu-malu.
“Ah,
iya.” Logika ku menyambar uang yang jumlah nya jauh lebih banyak dari uang ku
yang diambli anak sekolahan tadi dengan cepat. Namun sejurus hati ku merasa
tidak enak. “Terimakasih ya, sudah mengembalikan uang nya. Tapi aku rasa ini
lebih. Tadi di dompet ku tidak ada sebanyak ini.” Aku menyodorkan beberapa
lembar ke arah nya.
“Ah,
aku rasa itu kurang jika dibandingkan dengan kurugian yang kau alami. perasaan mu pasti terguncang.
Kalau kau masih tidak enak menerima uang lebih, bagaimana dengan mentraktir ku
dengan uang itu?”
Lelaki yang berkcamata di depan ku tak lagi terasa canggung. Kalimatnya sudah
tak terbata-bata seperti di awal pembicaraan kami. Dan dia tersenyum pada ku.
***
Tak jauh dari taman bermain, ada stan mie rebus.
Kami memesan dua mangkuk mi dan dua botol teh botol.
“Nama
ku Jiwa. Adik ku Raga.”
Spontan aku terkekeh. Aku teringat penggabungan
dua nama kakak beradik itu menjadi ‘jiwa raga’. Aku terigat senam kebugaran
hari jumat di sekolahan dulu.
“Iya.
Memang lucu. Orang tua kami mungkin tengah hobi olahraga saat mereka menamai
kami. Tapi mereka bukan guru kebugaran kok.”
“Maaf
ya, aku gak maksud nyinggung. Tapi itu emang lucu. Nice.”
“Ah,
iya. Udah biasa. So, siapa nama mu?”
“Aku
Hati.”
“Nice.”
Kami terkekeh bersamaan. Sama sama mengilhami
jika nama kami aneh.
“Jadi
apa kegiatan mu?” Tanya ku sambil melahap mie rebus di
mangkuk ku.
“Aku
pengembang program.”
“Komputer
ya.”
“Ya
semacam itu. Kalau boleh aku menebak kamu pasti bekerja di kantor pengantaran
barang.”
“Bagaimana
kamu tahu?”
“Aku
bisa meramal.”
“Benarkah?!”
aku girang. Sudah banyak pertanyaan yang akan aku tanyakan soal masa depan pada
nya.
“Apa
kau serius kamu bisa meramal?”
“Yap.”
“Ok.
Coba kamu tebak tanggal lahir ku.”
“Tujuh
belas Februari 1988.”
“Wuah!
Kamu benar-benar peramal.” Wajahku pasti tampak sangat mengagumi keahlian
meramal nya ditambah senyum nya yang tulus. Membuat ku sempat berpikir untuk
menggoda nya dan menjadikannya suami ku.
Tapi aku buru-buru menghapus niatan aneh ku itu,
dan kembali fokus dengan pertanyaan masa depan ku.
“Kalau
begitu coba kamu ramal aku. Bagaimana soal jodoh?”
“Kamu
akan segera bertemu dengan calon pasangan mu.” Tanpa berpikir dia memberikan
jawaban.
“Wuah!
benarkah?” hati ku bersorak gembira yang langsung terpancar dari raut wajah ku.
“Apa
kamu tahu dia orangnya seperti apa?”
“Emm
dia pintar. Dia baik. Dia juga tampan.”
“Wuah!
Kamu benar-benar membuat ku senang. Jangan hanya coba menghibur ku. Kamu serius
kan soal ramalan mu?”
Dia hanya tersenyum menatap ku. Dan sejurus aku
menunduk malu, percaya dengan ramalannya.
“Terimakasih
untuk ramalannya. Lalu bagimana dengan adik mu? Aku rasa dia cukup nakal di
usinya.” Entah ada apa dengan otak ku. Namun aku selalu penasaran dengan
kenakalan remaja yang tak pernah aku alami sebelumnya.
“Aku
tidak bisa meramal anggota keluarga.”
“Yah,
sayang sekali. Tapi aku rasa adik mu butuh uang banyak sampai dia melakukan hal
‘itu’.”
“Entahlah.
Mungkin aku kurang memberinya uang jadi dia memutuskan untuk meminta dari orang
lain.”
“Orang
tua kalian?”
“Kami
tinggal dengan Nenek.”
“Oh...”
“Kadang
kamu blak-blakan, tapi kadang kamu cukup sungkan.”
“Oh,
mungkin karena aku malu kalau bertemu orang baru.” Aku
terkekeh malu.
“Dimana
rumah mu?”
“Dekat
sini. Di belakang warung kelontong itu.” Aku menunjuk warung kelontong ber cat
hijau muda tak jauh dari tempat kami makan.
“Bolehkah
aku berkunjung kapan-kapan.”
“Tentu.
Aku selalu mengurung diri di rumah sebahis pulang kerja. Aku pulang kerja jam
lima. Tapi kalau macet bisa sampai di rumah jam enam. Kau bisa datang jam
tujuh.”
“Bicara
mu cepat juga.”
“Hah,
iya ya. Aku juga kadang merasa begitu. Mungkin karena dulu aku ingin jadi
presenter.”
“Lalu? Lalu
kenapa tidak jadi menjadi presenter?”
“Karena
saat aku SMP keinginan ku berubah. Aku ingin jadi penyanyi. Lalu berubah lagi
ingin menjadi model, designer, dancer, penulis, dan sekarang aku hanya ingin
jadi ibu rumah tangga. Kau? Apa dari dulu kamu ingin jadi programer?”
“Dari
kecil aku suka bermain degan komputer.”
“Wuah.
senangnya bisa bekerja sesuai kesenangan.”
“Kamu
tidak senang dengan pekerjaan mu sekarang?”
“Biasa
saja.”
“Siang
ini kamu makan ayam goreng.” Kembali Jiwa menebak.
“Wuah.
Kau benar-benar peramal. Apa ada ayam terselip di gigi ku? Lalu bagaimana
dengan hidup mu? Apa kau bisa meramal hidup mu?”
“Yup.
Dalam waktu dekat aku juga akan bertemu dengan seseorang yang menarik perhatian
ku.”
“Asik.
Kita bisa saling bercerita tentang pasangan kita.”
“Aku
rasa.”
“Dimana
rumah nenek mu?”
“Jauh.
Di desa. Aku dan adik ku pindah ke sini sekitar dua tahun. Kami tinggal di apartemen.
Beberapa blok dari sini.”
“Jauh?”
“Lumayan
kalau harus berjalan kaki.”
“Kamu pulang naik apa?’
“Bis.”
“Aku
rasa ini sudah cukup malam untuk bisa mendapatkan bis.”
“Mungkin
malam ini aku ingin menginap di rumah teman ku. Sekitar sini.”
“Benarkah?
Baguslah. Itu artinya aku masih punya waktu meminta mu meramal ku.”
“Baiklah.”
“Kau
sangat baik. Aku selalu merasa nyaman dengan orang baik. Aku tidak pernah bisa
berteman dengan orang jahat.”
“Orang
jahat?”
“Iya.
Orang yang nada bicara dan tatapannya sinis. Merendahkan. Aku tidak bisa
beteman dengan orang seperti itu.’
“Aku
rasa semua orang seperti itu.”
“Tapi
dari pertama kita bertemu kamu benar-benar sangat ramah. Aku merasa senyum mu
tulus. Aku menyukai nya.”
“Terimakasih.
Aku juga suka saat kamu mengomeli dirimu sendiri.”
“Hahahah.
Aku rasa hobi ku berbicara sendiri. Sering orang-orang disekitar ku merasa aku
aneh dan tidak nyaman dengan kelakuan ku itu. Jadi untuk di beberapa tempat aku
berusaha tidak berbicara sendiri meski aku sangat ingin.”
“Kamu
pintar menahan diri.”
“Kadang.”
“Kamu
juga tidak melawan saat adik ku mengambil uang mu.”
“Aku
takut adik mu menusuk ku dengan pisau atau memukul ku.”
Jiwa terkekeh. “Imaginasi mu cukup baik. Bagus
untuk kewaspadaan. Tapi adik ku tidak pernah memukul siapapun. Mungkin dia
tidak berani. Dia hanya kasar di mulut dan kurang sopan santun saja.
Selebihnya sebenarnya dia baik. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu nenek. Tidak
banyak mendengar celotehan nenek. Jadi dia banyak berontak.”
“Oh
begitu. Aku rasa kamu kakak yang sangat baik. Aku yakin banyak wanita menyukai
mu.”
“Entahlah.
Sejauh ini tidak pernah ada yang mengirimi ku surat cinta. Bahkan di sekolah
dulu aku tidak pernah mendapat coklat.”
“Benarkah?
Aku juga begitu.”
Aku dan Jiwa
terkekeh. Aku merasa menemukan teman bicara yang baik terutama untuk topik
asmara. Pikiran untuk memintanya menjadi kekasih ku kembali bergumul di otak
ku.
“Kalau
begitu kau bisa mengunjungi nenek mu saat libur.”
“Kau
benar. Tapi aku belum tahu apa waktu dekat ini akan ada libur.”
“Kau
benar-benar sibuk ya....”
“Lumayan.”
“Kalau
begitu adik mu bisa mengunjungi nenek mu sendiri kan?”
“Aku
tidak yakin. Dia memang rindu dengan nenek. Tapi rasa ingin kabur dan mencoba
hal baru lebih menarik baginya. Jadi aku rasa dia tidak bisa dibiarkan sendiri
ke tempat nenek.”
“Emmm,
kalau begitu kalian harus bersabar sampai kamu mendapat libur.”
“Apa
kamu mau menemaninya?”
“Hah?”
“Ke
rumah nenek. Aku rasa itu tidak terlalu jauh dari sini. Satu jam perjalanan pesawat.
Apa kamu setuju?”
“Apa
nya?”
“Menemani
adik ku.”
“Aku
tidak tahu. Aku rasa adik mu tidak akan senang dengan rencana ini.”
“Kita
belum coba bertanya pada nya.”
“Kita?”
“Iya.
Aku dan kamu.”
“Aku
rasa cukup kamu yang bilang padanya.”
“Baiklah.
Aku akan bertanya pada nya. Jadi kalau dia mau, kamu juga mau?”
“Hemmmm?
Aku rasa untuk dua hari aku bisa cuti. Akhir bulan ini aku mendapat cuti ku.”
“Aku
rasa ini takdir.”
“Apa?”
“Malam
ini. Semua kejadian malam ini. Aku benar-benar berterimakasih kalau kamu bisa
menemaninya.”
Aku hanya mengangguk khitmat sembari memikirkan
keputusan yang baru saja aku buat. Satu sisi otak ku bersorak kalau ini adalah
keputusan tepat. Pengalaman baru. Orang baru. Naik pesawatttttt. Aku akan bisa
naik pesawattt. Namun di sisi lain otak ku bergumul pikiran ragu. Ragu jika
semuanya akan berjalan lancar. Ragu jika aku bisa berkomunikasi lancar dengan
Raga, selancar aku berkomunikasi dengan kakaknya. Aku juga ragu untuk
menggunakan tabungan ku sepanjang perjalanan di Jogja. Must be so much money I
should spend!
“Kamu
sudah selesai?” Jiwa membuyarkan pikiran ku.
“Oh,
iya. Aku sudah selesai.” Jawab ku cepat dengan menjauhkan mangkuk mie dari hadapan ku dan meletakkan
sumpit di atas nya.
Malam itu aku membayar bon mie dengan uang Jiwa.
Malam ini rasanya campur aduk. Mungkin aku menaruh suka pada Jiwa. Malam ini
aku berharap untuk bertemu dengan Jiwa di malam-malam yang lain.
*****
Aku berdiri di barisan antrian loket karcis
kereta api. Tinggal menunggu dua
orang di depan ku. Sembari aku menunggu antrian, sesekali aku mencuri pandang
ke arah jam 10 dari tempat ku berdiri. Disana tengah berdiri Raga dengan dua
tas sedang di dekat kakinya. Dia tengah menikmati bermain game online dengan
ponsel pintarnya. Dengan eraphone disumpalkan di kedua telinganya, dia
menggoyang-goyangkan kakinya. Dia benar-benar pandai menikmati hidup. Gumam ku.
Ada rasa kesal menyelinap di hati ku sesudah aku
mendapatkan tiket untuk aku dan Raga. Aku kesal karena aku gagal naik pesawat
untuk yang pertama kali. Raga bilang dia tidak suka naik pesawat. Jadi sebagai
orang yang lebih berumur, aku mengalah untuk memilih transportasi darat ini
lagi. Dia pasti ingin menjadi Harry Potter yang pergi ke dunia lain dengan kereta. Bedanya Harry
Potter menembus tembok dan naik kereta lawas klasik, sedang aku, mengantri
hampir satu jam untuk mendapat tiket naik kereta ekonomi. Gerutu ku dalam hati.
Aku juga kesal karena sesaat setelah aku
memberikan tiket ke Raga dia hanya melenggang cantik meninggalkan tas bawaan
ku. rasanya aku ingin meneriaki dia dan melempar tas ku ke arah nya, namun sisi kedewasaan ku
menahan ku untuk melakukan hal yang cukup memalukan bagi wanita berumur 25
tahun di stasiun kereta api yang pagi itu sudah cukup ramai.
Kekesalan ku yang lain adalah saat aku dan Raga
sudah masuk ke dalam kereta. Dengan santainya di memilih tempat duduk di dekat
jendela yang sudah aku dambakan saat menunggu datangnya kereta. Ingin rasanya
aku melotot padanya dan menyuruhnya pindah. Namun lagi-lagi sisi kedewasaan ku
berbisik untuk tidak perlu membuang-buang tenaga ku untuk hal sekecil itu. Apa
lagi wajah Jiwa terbayang setiap aku ingin marah pada adiknya. Mungkin ini yang
disebut pengorbanan cinta. Gumam ku bahagia.
Sudah hampir setengah jam kereta kami
meninggalkan stasiun. Selama itu juga tidak ada percakapan antara aku dan Raga.
Hanya sebuah pertanyaan dari ku yang tidak disambut hangat olehnya hingga
membuat ku trauma untuk kembali melontarkan pertanyaan pada nya. Aku bertanya
tentang hobinya. Dan dia hanya menjawab kalau dia tidak memiliki hobi. Sudah.
Titik. tidak ada senyum ramah tau pertanyaan balik kepada ku. benar-benar
berbeda dengan kakanya yang sangat ramah, baik, dan pengertian. Baiklah, aku
mulai membandingkan dia dengan kakaknya. Aku mulai benci diri ku sendrii karena
telah menilai bocah SMA di samping ku ini negativ.
Mungkin aku hanya perlu tidur agar pikiran negativ tak makin beranak di otak
ku. Tidur. Tidur. Tidurrrrrr
****
Seseorang menggoyang – goyang bahu ku dan aku
tersentak dari tidur ku. Seorang petugas kereta memberitahu ku jika kereta
sudah sampai di stasiun terakhir. Dia juga memberi tahu jika seseorang tengah
menunggu ku di pintu keluar. Dengan jari telunjuknya petugas yang sudah agak
tua itu mengarahkan pandangan ku pada seseorang yang berdiri di dekat pintu
keluar. Sendirian.
Itu Raga.
****
Aku sudah keluar ari kereta dengan menjinjing
kedua tas bawaan ku. Raga berdiri tak jauh dari tempat ku berdiri.
“Aku
rasa kita melewatkan stasiun desa nenek mu.” Aku sudah tak tahan untuk bersikap
seolah semua nya baik-baik saja. Aku mulai menggerutu. Bicara sendiri dan
mengumpat.
“Elo masih punya duit?” tak di sangka Raga
membuka mulut dan yang keluar dari mulutnya adalah tentang duit.
“Masih.
Kenapa? Kau ingin membeli tiket lagi?”
“Pengen beli rokok. Rokok ku
ketinggalan di kererta.”
“Hah?!!
Heh! Kamu tu mikir. Sekarang kita lagi salah jalan. Bukannya cari ide biar kita
bisa ke tempat nenek mu, malah mau ngrokok. Dasar!” akhirnya amarah ku meluap.
Umur ku memang tak bisa menjamin kesabaran ku.
Selepas meluapkan amarah ku, aku menatap tajam
ke arah Raga. Namun dia tak bergeming untuk meminta maaf atau sekedar menunduk
bersalah. Dia malah berjongkok lalu mengupas permen dan mengulumnya santai.
Aku putus asa dengan Raga. Aku mengambil ponsel
ku, berniat menghubungi Jiwa. Bertanya solusi yang bisa aku lakukan saat ini.
Namun sial kembali memihak pada ku. ponsel ku mati. Harapan ku mati.
“Setan.”
Ucap ku lirih. Sesaat aku mendengar Raga terkekeh. Entah hal lucu apa yang
sedang terlintas di benaknya. Yang jelas berkali-kali aku menarik nafas.
Mencoba menenangkan diri.
“Aku
pinjam ponsel mu.” Pinta ku dingin tanpa senyum pada Raga yang sedang bermain game
pesawat-pesawatan di ponsel nya.
Tanpa berpikir, Raga memberikan ponsel nya
begitu saja pada ku. aku cukup kaget dengan respon cepat nya memberi ku ponsel.
Tanpa bertanya. Tanpa curiga.
“Emmm,
nama kontak kakak
mu apa?” tanya ku pada Raga sambil membuka list kontak di ponselnya.
“Gak
tau.
Coba liet aja
di panggilan masuk.” Jawabnya santai.
Aku cukup kaget dan bingung dengan jawabannya.
Namun aku tidak punya waktu untuk bertanya lebih tentang kronologi nama
kakaknya di ponselnya. Aku segera membuka
list panggilan masuk di ponselnya. Hanya ada satu nomor. Aku pastikan
ini nomor Jiwa.
Aku sudah terhubung dengan nada tunggu saat Raga
mengatakan Kakak nya tidak akan mengangkat telpon. Dia tak menyebutkan alasan
kakaknya tidak mengangkat telponnya.
Benar. Telpon ku tak diangkat. Tiga kali aku
mencoba menghubungi, namun tetap tak diangkat.
“Kau
tahu kakak mu kemana? Kenapa dia tidak angkat telponnya?”
“Gak
tau. Gue bukan CCTV nya.”
“Hish.
Dasar.” Gerutuku.
Kami saling diam. Suasana di stasiun sudah sepi
karena saat itu sudah pukul 9 malam. Hanya beberapa petugas kereta yang hilir
mudik memastikan jika tidak ada penumpang yang tertinggal di kereta. Sesekali
mereka menanyai kami, namun dengan sok gagah, aku bilang pada mereka jika kami
tidak apa-apa. Dan aku menyebutkan jika Raga adalah adik ku.
“Kamu
laper?
Ayo, cari makan.”
Aku membawa tas ku menuju restaurant terdekat.
***
Raga dan aku sudah duduk di sebuah warteg pinggir
jalan.
“Kau
pengen apa?” tanya ku pada Raga
yang duduk di depan ku.
“Rokok.”
Jawabnya singkat.
“Haishh.
Ok. Ok. Asal kamu
makan, nanti kita beli rokok.”
“Sop.”
“Sop
apa?”
“Sop.”
“Hish.”
***
Dua sop ceker ayam beserta nasi putih dan dua
gelas teh hangat sudah ada di meja kami. Aku
segera mencampur nasi ke dalam sop ceker ayam ku. Dengan penuh semangat aku
mengisi perut ku yang sudah 12 jam tak terisi apa pun. Hanya air putih dan
angin stasiun.
“Kalau
pengen rokok, cepat habisin sop mu.” Perintah ku
pada Raga.
Dengan terpaksa dia memasukkan kuah sop beserta
gerutuan ke mulut nya.
“Seharusnya
kamu
bilang kalau gak
suka ceker ayam.” Ucap ku tegas di sela aku memasukkan makanan ke dalam mulut
ku. “Sayang kalau dibuang.”
“Abis
gue ngabisin sop ini, elo bakal kasih duit kan?”
“Habis
sampai bersih, baru nanti aku kasih duit.”
“Gue gak ngerti apa yang bikin elo mau menemani gue jauh
jauh ke tempat nenek.
Makasih.”
Raga menjejalkan sop dan nasi putih ke dalam mulutnya buru-buru.
Aku
tertegun mendengar bocah tengil di depan ku mengucapkan terimakasih. “Pelan-pelan. Nanti keselek.”
Perintah ku.
“Gak papa.”
“Peeeelan
peeelaaan!!” Aku memaksa.
Raga memperlambat gerakan makannya. Saat itu aku
merasa dia anak yang baik dan penurut. Senyum mengembang di wajah ku yang
sudah
hampir punah hari ini.
“Awalnya
aku pikir kamu gak bakal mau pergi bareng aku.” ucap
ku santai.
Sejenak Raga berhenti memakan sop nya. Aku pikir
dia akan merespon kalimat ku. tapi yang dia lakukan hanya diam.
“Suka sayur?” tanya ku.
Raga hanya menggeleng.
“Suka game?”
Dia mengangguk.
“Suka naik kereta?”
Dia mengangguk.
“Suka tinggal di kota?”
Dia menggeleng.
“Kangen nenek mu?”
Dia mengangguk.
“Kenapa
waktu
itu kamu
ngambil uang ku?”
Dia tak menggeleng atau menganggk. Dia mendongak
menatap ku. Entah ekspresi apa yang ada di matanya saat itu.
Meledek ku?
“Kamu pasti
gak tahu
kalau kakak mu sayang
banget sama kamu.” ucap
ku santai.
Raga kembali menatap wajah ku. Sebisa mungkin aku
menghindari sorot matanya yang tampak tak wajar.
“Elo
pengen jadi
istri Jiwa?” Raga bertanya.
Aku terdiam mendengar pertanyaan nya. Aku tak
berpikir tentang pernikahan dengan Jiwa sebelumnya.
“Elo mau
kalok
Jiwa ngajak elo
nikah?” kembali Raga menanyakan sebuah pertanyaan yang pelik.
Tidak bisa sembarangan aku jawab dengan anggukan atau dengan gelengan. Aku baru
mengenal Jiwa satu minggu yang lalu. Dan saat ini aku bersama adiknya yang
tengah penasaran soal hubungan ku dan kakaknya.
“Emang kamu setuju kalok aku nikah sama kakak mu?” Aku
bertanya balik.
“Gue rasa elo orang baik.
Sayangnya Jiwa
bukan orang baik. Jadi menurut gue elo berdua gak cocok.”
Aku diam. Bingung dengan kalimat yang baru saja
meluncur dari mulut Raga, adik Jiwa.
“Elo
bakal
hidup sendirian meski elo
bareng sama dia. Jiwa
tu ngebosenin banget. Gak asik. Gak bisa diajak seneng-seneng” Tambahnya.
Aku menarik nafas panjang sebelum menanggapi
ocehan Raga tentang kakak nya. Aku membutuhkan oksigen lebih untuk bisa
menenangkan otak ku yang mulai mendidih mendengar kata-kata Raga. Memastikan kalimat yang akan
aku ucapkan tidak akan menjadi sebuah penyesalan.
“Heh. Asal kamu tahu, Aku udah lama
hidup sendiri. Jadi gak masalah kalau nanti kakak mu ngebosenin dan Lagi pula Aku rasa kakak mu
orang yang hangat. Aku rasa kakak mu sayang banget sama kamu. Dia diam-diam merhatiin kamu. Dia coba memenuhi
kebutuhan mu. Dia coba baik-baik saja dengan semua masalah yang kamu bikin di luaran sana.
Termasuk ngambil uang dari orang asing kayak
aku. Entah karena aku sudah cukup tua, atau memang kamu yang terlalu muda untuk
mengerti perjuangan hidup. Tapi kakak mu bekerja sampai malam gak
Cuma buat dia.
Tapi buat
kamu juga. Aku rasa dia terlalu banyak ngasih
kamu
kasih sayang sampek
lupa buat kasih
kamu
pelajaran. Kayak yang sekarang aku lakuin. Kamu
tu terlalu fokus sama kesusahan mu. Manja.”
Aku mencubit pipi Raga kuat hingga dia meronta kesakitan
dan meminta ku untuk melepaskannya. Bekas cubitan ku tampak jelas di pipi
kirinya. Aku tersenyum puas.
“Aku
rasa pertemuan kita itu takdir Tuhan biar kamu sadar kalau kamu
gak lagi baik-baik. Kamu perlu merubah hidup
mu Bung!” ucap ku keras setelah itu menyeruput kuah sop dari mangkuk ku habis.
“Gue harap Jiwa cepetan nikahin elo. Jadi gue bisa lihat elo ngrasain
yang gue rasain. Elo
bakal manja kayak gue.”
Raga tersenyum penuh arti pada ku yang aku balas dengan tatapan menantang.
“Coba
aja kamu
rayu kakak mu buat
cepetan nikahin
aku.
Jadi aku bisa buktiin
ke kamu
kalau hidup ku akan baik-baik setelah nikah sama kakak mu.”
Kami saling menatap. Menantang.
Malam itu hujan turun
cukup deras.
Kami pergi ke penginapan terdekat. Tak lupa kami membeli satu bungkus rokok.
***
“Jiwa
ngrokok gak?”
tanya ku pada Raga yang tengah menghisap rokoknya
di dekat jendela kamar yang malam ini kami sewa.
“Enggak.”
“Jam
berapa dia pulang kerja?”
“Gak
tau. Pas gue pulang maen, dia masih duduk di
kursi kerjanya”
“Kalau
bangun jam berapa?”
“Gak
tau. Pas
gue
berangkat ke sekolah, udah ada sarapan di meja makan, sama uang jajan. Dianya sih udah ngilang.”
“Dasar
serba gak tau. Pasti kamu di kelas duduk paling belakang.” Ucap ku sambal
menguap lebar.
Ada dua tempat tidur di kamar kami. Aku sudah membungkus
tubuh ku di balik selimut. Bersiap memejamkan mata.
“Elo udah pengen tidur?” suara Raga
terdengar menyedihkan.
“Hem.”
Aku sudah coba
memejamkan mata ku.
“Gue gak
kepengen ketemu nenek.”
Mata ku terbuka lebar. Semacam kaget mendengar
kalimat Raga.
“Kenapa?!”
aku bangun dari posisi tidur ku.
“Kasihan
nenek. Nanti dia pasti bakal nangis pas nganter gue pulang. Gue mau punya rumah
sendiri dulu baru nanti gue jemput nenek buat tinggal bareng gue.” Raga tampak
sangat serius dengan kata-katanya.
Aku hanya bisa diam mendengar mimpi besar bocah tengil
itu. Tak tahu harus memberi nasehat apa sebagai seorang yang jauh lebih tua
darinya namun tak memiliki uang untuk aku berikan padanya guna membeli rumah
yang ia maksud.
“Elo pernah pacaran?” Raga
bertanya pada ku, yang tengah memikirkan jumlah uang di tabungan ku.
“Hah?
Pacar? Enggak.” Jawab ku gagap.
“Jiwa
juga gak pernah punya.”
“Sok
tahu.”
“Tiap
cewek yang deket sama dia pasti bakal jadi cewek gue.”
“Hish!
Amit-amit. Dasar kurang ajar.”
“Eits!
Siapa yang amit-amit sama kurang ajar? Gue mah gak pernah maksa cewek-cewek itu
buat jadi pacar gue. Ceweknya aja yang mau an.”
“Ya
enggak lah. Cewek itu mau kalok ada yang godain. Kamu tu suka godain cewek
orang.”
“Berarti
kalau gue godain elo, elo bakal mau jadi pacar gue?”
“Wuah!
Bener-bener nglunjak ni bocah.”
“Mau?”
“Ya
enggak lah!” jawab ku mantap sambil melotot.
“Biasa
aja dong. Gak usah kayak nenek sihir mau nglodeh sayur.”
“Heh!
Kamu tu harus sopan sama aku. Aku kan lebih tua dari kamuuuu!”
“Elo
tu harus sayang sama gue. Elo kan lebih tua dari gue.”
“Ha?”
aku bingung dengan kalimat Raga barusan. Seperti ada sesuatu yang mengganjal
tenggorokan ku hingga membuat ku tak bisa membalas ucapan Raga. Entah bagaimana
caranya, tapi kalimat Raga mengingatkan aku tentang pelajaran PPKN jaman SD
yang isi nya tentang hormat pada yang tua, sayang pada yang lebih muda.
Aku menarik nafas panjang.
“Gak
jadi tidur? Besok Jiwa jemput kita.” Ucap Raga sembari mematikan puntung rokok
di selipan jarinya nya.
“Hah?
Besok Jiwa jemput kita?”
“Gak
usah mendadak budek dehhh. Manja.” Ledek Raga.
“Ishhh,
siapa yang pura-pura budek?? Orang aku Cuma memastiin aja kalau aku gak salah
denger kok.”
“Ya
itu namanya pura-pura budek.”
“Enggak!
Dan lagian siapa juga yang manja. Terus, dari mana kamu tau kalau Jiwa bakal
jemput kita? Dia mau naik kereta juga?”
“Udahlah.
Cewek emang selalu bener. Tidur gih.”
Raga menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Dia memunggungi
ku. enggan menggubris pertanyaan ku. Rasanya aku ingin melempar bantal ke arah
nya. Saking kesalnya. Kesal karena aku merasa kata-kata Raga semua benar. Aku
pura-pura budek. Aku manja mendengar nama Jiwa disebut.
****
Samar terdengar
suara percakapan dari ranjang tempat ku tidur. Aku mencoba membuka mata,
mencari tahu apakah hari sudah pagi. Tidak ada cahaya matahari masuk dari celah
jendela kamar hotel ku. aku bersendawa. Angin kereta semalam masih tersisa di
perut ku.
Ranjang di sebelah ku sudah kosong. Raga sudah bangun,
pikir ku. tapi kemana? Gumam ku sambil membersihkan jetet di mata. Saat aku
akan bangkit dari ranjang ku untuk mencari Raga, suara derap lagkah mendekat
dari arah suara percakpan yang tadi samar aku dengar. Aku terkesiap. Kaget dan
takut. Apakah itu orang jahat? Gumam ku dalam hati.
“Hai.”
Dari lorong pintu masuk Jiwa muncul. Dengan membawa dua kantong plastik putih
di kedua tangannya. “Maaf ya, udah ganggu tidur mu. Pasti kamu masih ngantuk
banget. Kata Raga kalian baru tidur jam satu an.” Jiwa meletakkan bawaannya di
meja kecil dekat jendela tempat Raga menghabiskan rokoknya semalam.
“Ah,
iya. Gak papa.” Aku melihat jam dinding di kamar menunjukkan pukul 4 pagi.
“Semalem aku bener-bener kaget pas Raga bilang kamu bakal dateng. Aku pikir dia
Cuma bercanda.” Aku terkekeh malu. Aku mencoba membenahi keadaan rambut ku yang
kupastikan tidak dalam keadaan baik-baik saja setelah tidur hampir 3 jam.
“Kalau
ngigau gak usah keras-keras. Gak bisa tidur gue.” Dari arah pintu masuk Raga
muncul dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke ranjang ku.
“Hah?!
Aku ngigau??? Masak??? Ah, enggak ahhhh!!!.” Seperti kejatuhan palu. Aku kaget
dan kesal dengan celetukan Raga di depan kakaknya. Pasti dia mau bikin image ku
hancur di depan kakak nya. Dasar licik.
“Gak
papa lah ngigau. Mungkin faktor kecapek an.” Jiwa membela ku.
Seperti ada angin sepoi yang segera memadamkan api
amarah di dada ku saat aku mendengar kata-kata penyejuk dari mulut Jiwa. Dia
memang lelaki amat sangat baik dan pengertian. Pagi subuh itu aku makin jatuh
cinta pada nya.
“Aku
bawa ayam goreng sama air mineral. Aku pikir kalian lapar.” Jiwa duduk di kursi
kayu dekat meja temapt dia meletakkan bawaanya yang ternyata ayam goreng dan
air mineral itu. Tanpa membuang waktu aku segera beringsut dari tempat ku
berdiri menuju salah satu kursi di dekat meja, bersebelahan dengan Jiwa. Aku
terus menatap Jiwa yang tengah membuka bungkusan ayam.
“Jangan
diliet terus. Bosan ntar.” Kembali Raga menghadiahi celetukan gak penting yang
membuat ku salah tingkah. Karena Jiwa yang tadinya sedang fokus membuka isi
plastic bawaannya langsung menatap ku yang masih tekun menatapnya.
Ketahuan telak sedang menatap seseorang yang kita
sukai namun belum tahu apa orang itu suka ke kita balik itu serasa bangun dari
tempat duduk lalu celana kita sobek kesangkut paku di kursi itu. Maluuuuuuu.
“Ada
yang anehya di muka ku?” Jiwa bertanya dengan kelembutan suaranya.
“Gak
ada yang salah. Cewek di depan elo tu cuma lagi nunggu elo nglamar dia.” Dengan
santai sambil rebahan Raga berbicara, memberikan kesimpulan gilanya.
“Apa??!!!!”
aku reflek kesal dengan Raga. Aku melotot padanya.
“Emang
iya ya?” Jiwa bertanya.
Dia benar-benar bodoh apa pura-pura bodoh pikir ku.
“Kamu
mau jadi istri ku?” Tanpa ada lilin. Tanpa sebuket bunga mawar merah atau
putih. Tanpa ada kamera yang mengabadikan momen indah itu, Jiwa mengatakan
kalimat yang ditunggu tunggu semua wanita di dunia itu.
Aku tertegun. Tak lagi melotot kesal. Aku melotot
kaget dengan kalimat yang baru saja diucapkan Jiwa. Lelaki pujaan hati ku. Perlahan
aku merasakan ada rasa haru yang menelusup di hati ku. Entah perasaan apa ini.
“Udah.
Terima aja. Mumpung ada gue.” kalimat Raga barusan merusak momen haru yang
berhasil aku bangun antara aku dan Jiwa. Emang kenapa kalau gak ada dia pas
Jiwa nglamar aku? Tanya ku dalam hati.
“Iya.
Mumpung ada Raga sebagai saksi. Jadi kamu gak bisa batalin kalau udah setuju.
Kalau kamu nolak Raga bakal nangis loh.” Kembali Jiwa membesarkan hati ku
dengan kata-kata manisnya.
“Ogah
nangis gara-gara cewek elu.” Raga bangkit dari ranjangnya, lalu bergegas keluar
kamar. Meninggalkan Jiwa dan aku di ruangan itu.
“Aku
senang Raga nyaman sama kamu.” Jiwa tersenyum pada ku. “Nih.” Dia memberiku
sepotong ayam goreng.
“Aku
pikir Raga gak nyaman banget sama aku. Kami sering cekcok.” Aku mengambil
potongan ayam pemberian Jiwa.
“Aku
pikir dia nyaman sama kamu. Tapi kalau kamu ngrasa gak nyaman sama dia, gak
papa. Pelan-pelan nanti dia juga nurut.”
Aku menatap Jiwa yang tegah memotong ayam untuknya
sendiri.
“Kenapa
ngliet aku kayak gitu? Jadi kamu mau jadi istri ku kan?” dengan santai Jiwa
menanyakan hal sakral itu. Lagi.
Aku menarik nafas dalam. Mengumpulkan pemikiran
tersehat ku untuk menjawab tawaran itu.
“Boleh.
Mau kapan?” aku menyutujui tawaran Jiwa. Aku tersenyum tipis.
“Kamu
mau yang lama atau yang cepet?”
“Cepet.”
“Sewa
gedung?”
“Gak
usah. Di halaman belakang rumah ku aja.”
“Gaun?”
“Beli
jadi aja. Ngirit.”
Jiwa terkekeh. Lagi-lagi aku tak tahu hal lucu apa
yang membuatnya terkekeh.
“Cincin
mau mas putih atau kuning?” Tanya Jiwa.
“Putih.
Polos kalau boleh.”
“Boleh.
Mahar?”
Aku diam. Berpikir. Aku tidak pernah memikirkan hal
itu sebelumnya.
“Rumah?”
Tanya Jiwa.
Aku menggeleng.
“Uang
tunai?”
Aku menggeleng.
“Badan
mu?” aku bertanya. Meminta persetujuan Jiwa tentang mahar yang aku ingin kan.
Kembali Jiwa terkekeh.
“Kamu
bakal jual organ tubuh ku kalau nanti kita gak punya uang?” Tanya Jiwa dengan
tawa kecilnya.
“Hem?”
aku masih tidak punya jawaban untuk pertanyannya
itu. Aku juga tidak tahu dari mana otak ku mendapat ide mahar itu. Aku tidak
pernah terpikir rencana menjual organ tubuh Jiwa sampai tadi Jiwa mengatakannya
pada ku.
“Ok.
Deal. Minggu depan kita nikah. Di taman belakang rumah mu. Besok kita beli baju
dan cincin. Aku yang akan urus ketring dan sewa tenda nya juga. Kamu mau ke
salon?” Jiwa bertanya di akhir penjelsannya yang panjang lebar seputar konsep
pernikahan kami.
“Enggak.
Aku bakal make up sendiri.”
“Ok.
Berarti sore ini kita balik terus ketemu orang tua mu ya?”
“Ok.”
Aku dan Jiwa saling melempar senyum.
“Coba
ramal kita berdua?” tantang ku pada Jiwa.
“Aku
gak bisa ngeramal.”
“Loh,
pas pertama kita ketemu kamu bisa ngeramal kok.
Kamu ngeramal soal kerjaan, tanggal lahir aku sama soal ayam.” Aku
heran.
“Aku
Cuma ngamatin. Aku bisa tahu kerjaan sama tanggal lahir mu itu dari ID card
yang gantung di leher mu. Terus soal ayam, waktu itu ada kupon bonus ayam di
dalem tas mu. Aku liet pas kamu ngambil barang-barang mu jatoh. Jadi aku gak
bisa ngeramal.” Senyum Jiwa mengiringi penjelasannya.
Aku hanya bisa menatap Jiwa curiga. Kebohongan macam
apa lagi yang dia sembunyikan.
“Kok
nglietin aku nya gitu? Kamu gak mau nikah sama aku karena aku gak bisa ngramal?”
Aku menggeleng.
“Terus?”
Tanya Jiwa lembut.
“Lain
kali kalau mau bohong kasih kode ya, biar aku gak bingung. Gak suka
dibohongin.”
Jiwa tersenyum pada ku. Sebuah senyum kesepakatan.
Kesepaktan yang belum tahu akan berakhir indah atau sebaliknya. Kami sama-sama
menunggu untuk tahu hasil kesepakatan itu.
“Nih.”
Jiwa kembali memberikan potongan ayam pada ku. “Aku seneng liet kamu makan.”
Kami saling melempar senyum.
****
Minggu pagi. Aku sudah berbalut gaun putih panjang
polos dan sebuket bunga mawar merah ada di genggaman ku. Baru saja Ibu keluar
dari kamar ku. Setelah memastikan jika calon pengantin wanita tidak kelaparan
atau kehausan menunggu pukul kedatangan calon pengantin lelakinya.
Aku menatap cermin meja rias di depan ku. Bedak tipis,
eyeliner hitam di pelupuk mata dan lipstick merah senada dengan buket mawar ku
menghiasi wajah ku. Aku akan mengakhiri kesendirian ku. Akan ada teman dalam
rumah kesendirian yang selama ini aku bangun. Aku harap dia bisa menyalakan api
dalam diriku hingga membuat ku hangat. Lebih hangat dari sebelumnya. Aku harap
semua berjalan lancar sesuai rencana ku.
Seseorang mengetuk pintu kamar ku. Ibu masuk ke dalam
kamar ku dengan membawa secarik kartu ucapan biru pastel. Warna kesukaan ku.
“Rombongan
pengantennya udah dateng. Ini tadi ada kasih titip ini ke Ibu.” Ibu memberikan
kartu ucapan itu kepada ku lalu segera bergegas ke luar kamar ku. Dia tampak
sibuk dan bahagia.
Buru-buru aku membuka kartu ucapan itu. Terdapat pesan
di dalamnya. Aku terdiam setelah membaca pesan itu.
Hello my first love…
Raga
|
THE END
~~~~~~
Rasa
tak bisa kau rancang nak. Nikmati dan hargai.
Komentar
Posting Komentar