Langsung ke konten utama

Hello my first love!









Dalam kesunyiannya dia hidup. Dalam kesunyiannya dia bahagia. Dalam kesunyiannya dia penuh cinta.
Aku Cuma perlu nikmatin apa yang ada di depan mata. Tidak perlu tergoda dengan cahaya dari rumah sebelah. Aku hanya perlu membuat nyalaku lebih terang. Tapi dengan apa?? Tuhan. Bantu aku menyalakan cahaya ku dalam kesendirian ku. ya tuhan. Sayangi aku. Aku membutuhkan mu. Sangat.
Kirimkan aku sosok itu. Segera. Amin. Sosok yang akan menemani dalam kesendirian ku.ya. aku masih cukup normal untuk berharap. Ya tuhan. Aku masih percaya akan kuasa mu. Segera. Aku mencintai diriku dan diri Mu. Aku yakin itu tak kan lama lagi. Aku tahu itu. Aku yakin. Aku harus yakin. Hanya harus yakin.
Doa penutup di ujung malam Senin.
Sore itu pulang kerja aku menyempatkan diri mampir ke taman bermain sekitar kantor ku. Sekedar bermain ayunan anak TK sembari menikmati eskrim.
Saat aku tengah bermain ayunan, seorang anak SMA berjalan mendekati ku. Dia tampak tidak baik. Ada anting di telinganya dan eyeliner hitam tebal melingkari matanya.
            “Minta uang nya kak.” Anak SMA itu menyodorkan telapak tangannya yang tampak kotor penuh cat hitam dan merah.
            “Buat apa?” aku mencoba menutupi rasa takut ku dengan sedikit meninggikan suara ku.
            “Aku haus.”
            “Pulang saja ke rumah mu. Pasti ibu mu mencari mu.” Aku beranjak dari ayunan, namun seketika dia menarik tangan ku. Reflek aku membuang tangannya dan langsung mengambil langkah seribu. Namun langkah seribu ku gagal saat dia menarik tas ku.
            “Kakak gak sopan. Mentang-mentang aku masih anak SMA.” Anak itu menyeringai kejam.
Aku menunduk takut. Dia menggeledah tas ku. aku tak berani teriak minta tolong. Entah ada perasaan takut dia akan menusuk ku dengan sesuatu atau meninju wajah ku. jadi aku pasrah saat dia mengambil beberapa lembar lima puluhan dari dompet ku.
****
            “Sial. Sial. Sial.” Umpat ku lirih sambil membenahi isi tas ku yang berserakan di tanah pasir dekat ayunan. Lokasi kejadian pemalakan yang terjadi pada ku. rasanya ingin menangis tapi air mata tak juga turun dari pelupuk mata ku. Malah rasa menggelitik masuk ke alam pikiran ku hingga membuat ku terkekeh sembari mengumpat diri ku atas kebodohan yang terjadi hari ini.
            “Hidup memang sulit.” Ucap ku lirih. Beranjak dari posisi jongkok ku.
            “Ha- hai!” Seorang lelaki memakai baju layaknya pekerja kantoran menyapa gagap. Dia tampak gugup. Dia membenahi kaca matanya saat kembali mengajak ku bicara. “Maaf. Ma-Maafkan adik ku.”
            “He? Siapa?” aku bingung. Aku memutar bola mata ku, mengingat kejadian perampasan tadi. “Itu??”
            “Iya. Itu adik ku. Maaf ya. Ini...” Dia menyodorkan beberapa lembar uang ratusan dengan malu-malu.
            “Ah, iya.” Logika ku menyambar uang yang jumlah nya jauh lebih banyak dari uang ku yang diambli anak sekolahan tadi dengan cepat. Namun sejurus hati ku merasa tidak enak. “Terimakasih ya, sudah mengembalikan uang nya. Tapi aku rasa ini lebih. Tadi di dompet ku tidak ada sebanyak ini.” Aku menyodorkan beberapa lembar ke arah nya.
            “Ah, aku rasa itu kurang jika dibandingkan dengan kurugian yang kau alami. perasaan mu pasti terguncang. Kalau kau masih tidak enak menerima uang lebih, bagaimana dengan mentraktir ku dengan uang itu?” Lelaki yang berkcamata di depan ku tak lagi terasa canggung. Kalimatnya sudah tak terbata-bata seperti di awal pembicaraan kami. Dan dia tersenyum pada ku.
***
Tak jauh dari taman bermain, ada stan mie rebus. Kami memesan dua mangkuk mi dan dua botol teh botol.
            “Nama ku Jiwa. Adik ku Raga.”
Spontan aku terkekeh. Aku teringat penggabungan dua nama kakak beradik itu menjadi ‘jiwa raga’. Aku terigat senam kebugaran hari jumat di sekolahan dulu.
            “Iya. Memang lucu. Orang tua kami mungkin tengah hobi olahraga saat mereka menamai kami. Tapi mereka bukan guru kebugaran kok.”
            “Maaf ya, aku gak maksud nyinggung. Tapi itu emang lucu. Nice.”
            “Ah, iya. Udah biasa. So, siapa nama mu?”
            “Aku Hati.”
            “Nice.”
Kami terkekeh bersamaan. Sama sama mengilhami jika nama kami aneh.
            “Jadi apa kegiatan mu?” Tanya ku sambil melahap mie rebus di mangkuk ku.
            “Aku pengembang program.”
            “Komputer ya.”
            “Ya semacam itu. Kalau boleh aku menebak kamu pasti bekerja di kantor pengantaran barang.”
            “Bagaimana kamu tahu?”
            “Aku bisa meramal.”
            “Benarkah?!” aku girang. Sudah banyak pertanyaan yang akan aku tanyakan soal masa depan pada nya.
            “Apa kau serius kamu bisa meramal?”
            “Yap.”
            “Ok. Coba kamu tebak tanggal lahir ku.”
            “Tujuh belas Februari 1988.”
            “Wuah! Kamu benar-benar peramal.” Wajahku pasti tampak sangat mengagumi keahlian meramal nya ditambah senyum nya yang tulus. Membuat ku sempat berpikir untuk menggoda nya dan menjadikannya suami ku.
Tapi aku buru-buru menghapus niatan aneh ku itu, dan kembali fokus dengan pertanyaan masa depan ku.
            “Kalau begitu coba kamu ramal aku. Bagaimana soal jodoh?”
            “Kamu akan segera bertemu dengan calon pasangan mu.” Tanpa berpikir dia memberikan jawaban.
            “Wuah! benarkah?” hati ku bersorak gembira yang langsung terpancar dari raut wajah ku.
            “Apa kamu tahu dia orangnya seperti apa?”
            “Emm dia pintar. Dia baik. Dia juga tampan.”
            “Wuah! Kamu benar-benar membuat ku senang. Jangan hanya coba menghibur ku. Kamu serius kan soal ramalan mu?”
Dia hanya tersenyum menatap ku. Dan sejurus aku menunduk malu, percaya dengan ramalannya.
            “Terimakasih untuk ramalannya. Lalu bagimana dengan adik mu? Aku rasa dia cukup nakal di usinya.” Entah ada apa dengan otak ku. Namun aku selalu penasaran dengan kenakalan remaja yang tak pernah aku alami sebelumnya.
            “Aku tidak bisa meramal anggota keluarga.”
            “Yah, sayang sekali. Tapi aku rasa adik mu butuh uang banyak sampai dia melakukan hal ‘itu’.”
            “Entahlah. Mungkin aku kurang memberinya uang jadi dia memutuskan untuk meminta dari orang lain.”
            “Orang tua kalian?”
            “Kami tinggal dengan Nenek.”
            “Oh...”
            “Kadang kamu blak-blakan, tapi kadang kamu cukup sungkan.”
            “Oh, mungkin karena aku malu kalau bertemu orang baru.” Aku terkekeh malu.
            “Dimana rumah mu?”
            “Dekat sini. Di belakang warung kelontong itu.” Aku menunjuk warung kelontong ber cat hijau muda tak jauh dari tempat kami makan.
            “Bolehkah aku berkunjung kapan-kapan.”
            “Tentu. Aku selalu mengurung diri di rumah sebahis pulang kerja. Aku pulang kerja jam lima. Tapi kalau macet bisa sampai di rumah jam enam. Kau bisa datang jam tujuh.”
            “Bicara mu cepat juga.”
            “Hah, iya ya. Aku juga kadang merasa begitu. Mungkin karena dulu aku ingin jadi presenter.”
            “Lalu? Lalu kenapa tidak jadi menjadi presenter?
            “Karena saat aku SMP keinginan ku berubah. Aku ingin jadi penyanyi. Lalu berubah lagi ingin menjadi model, designer, dancer, penulis, dan sekarang aku hanya ingin jadi ibu rumah tangga. Kau? Apa dari dulu kamu ingin jadi programer?”
            “Dari kecil aku suka bermain degan komputer.”
            “Wuah. senangnya bisa bekerja sesuai kesenangan.”
            “Kamu tidak senang dengan pekerjaan mu sekarang?”
            “Biasa saja.”
            “Siang ini kamu makan ayam goreng.” Kembali Jiwa menebak.
            “Wuah. Kau benar-benar peramal. Apa ada ayam terselip di gigi ku? Lalu bagaimana dengan hidup mu? Apa kau bisa meramal hidup mu?”
            “Yup. Dalam waktu dekat aku juga akan bertemu dengan seseorang yang menarik perhatian ku.”
            “Asik. Kita bisa saling bercerita tentang pasangan kita.”
            “Aku rasa.”
            “Dimana rumah nenek mu?”
            “Jauh. Di desa. Aku dan adik ku pindah ke sini sekitar dua tahun. Kami tinggal di apartemen. Beberapa blok dari sini.”
            “Jauh?”
            “Lumayan kalau harus berjalan kaki.”
            “Kamu pulang naik apa?’
            “Bis.”
            “Aku rasa ini sudah cukup malam untuk bisa mendapatkan bis.”
            “Mungkin malam ini aku ingin menginap di rumah teman ku. Sekitar sini.”
            “Benarkah? Baguslah. Itu artinya aku masih punya waktu meminta mu meramal ku.”
            “Baiklah.”
            “Kau sangat baik. Aku selalu merasa nyaman dengan orang baik. Aku tidak pernah bisa berteman dengan orang jahat.”
            “Orang jahat?”
            “Iya. Orang yang nada bicara dan tatapannya sinis. Merendahkan. Aku tidak bisa beteman dengan orang seperti itu.’
            “Aku rasa semua orang seperti itu.”
            “Tapi dari pertama kita bertemu kamu benar-benar sangat ramah. Aku merasa senyum mu tulus. Aku menyukai nya.”
            “Terimakasih. Aku juga suka saat kamu mengomeli dirimu sendiri.”
            “Hahahah. Aku rasa hobi ku berbicara sendiri. Sering orang-orang disekitar ku merasa aku aneh dan tidak nyaman dengan kelakuan ku itu. Jadi untuk di beberapa tempat aku berusaha tidak berbicara sendiri meski aku sangat ingin.”
            “Kamu pintar menahan diri.”
            “Kadang.”
            “Kamu juga tidak melawan saat adik ku mengambil uang mu.”
            “Aku takut adik mu menusuk ku dengan pisau atau memukul ku.”
Jiwa terkekeh. “Imaginasi mu cukup baik. Bagus untuk kewaspadaan. Tapi adik ku tidak pernah memukul siapapun. Mungkin dia tidak berani. Dia hanya kasar di mulut dan kurang sopan santun saja. Selebihnya sebenarnya dia baik. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu nenek. Tidak banyak mendengar celotehan nenek. Jadi dia banyak berontak.”
            “Oh begitu. Aku rasa kamu kakak yang sangat baik. Aku yakin banyak wanita menyukai mu.”
            “Entahlah. Sejauh ini tidak pernah ada yang mengirimi ku surat cinta. Bahkan di sekolah dulu aku tidak pernah mendapat coklat.”
            “Benarkah? Aku juga begitu.”
Aku dan Jiwa terkekeh. Aku merasa menemukan teman bicara yang baik terutama untuk topik asmara. Pikiran untuk memintanya menjadi kekasih ku kembali bergumul di otak ku.
            “Kalau begitu kau bisa mengunjungi nenek mu saat libur.”
            “Kau benar. Tapi aku belum tahu apa waktu dekat ini akan ada libur.”
            “Kau benar-benar sibuk ya....”
            “Lumayan.”
            “Kalau begitu adik mu bisa mengunjungi nenek mu sendiri kan?”
            “Aku tidak yakin. Dia memang rindu dengan nenek. Tapi rasa ingin kabur dan mencoba hal baru lebih menarik baginya. Jadi aku rasa dia tidak bisa dibiarkan sendiri ke tempat nenek.”
            “Emmm, kalau begitu kalian harus bersabar sampai kamu mendapat libur.”
            “Apa kamu mau menemaninya?”
            “Hah?”
            “Ke rumah nenek. Aku rasa itu tidak terlalu jauh dari sini. Satu jam perjalanan pesawat. Apa kamu setuju?”
            “Apa nya?”
            “Menemani adik ku.”
            “Aku tidak tahu. Aku rasa adik mu tidak akan senang dengan rencana ini.”
            “Kita belum coba bertanya pada nya.”
            “Kita?”
            “Iya. Aku dan kamu.”
            “Aku rasa cukup kamu yang bilang padanya.”
            “Baiklah. Aku akan bertanya pada nya. Jadi kalau dia mau, kamu juga mau?”
            “Hemmmm? Aku rasa untuk dua hari aku bisa cuti. Akhir bulan ini aku mendapat cuti ku.”
            “Aku rasa ini takdir.”
            “Apa?”
            “Malam ini. Semua kejadian malam ini. Aku benar-benar berterimakasih kalau kamu bisa menemaninya.”
Aku hanya mengangguk khitmat sembari memikirkan keputusan yang baru saja aku buat. Satu sisi otak ku bersorak kalau ini adalah keputusan tepat. Pengalaman baru. Orang baru. Naik pesawatttttt. Aku akan bisa naik pesawattt. Namun di sisi lain otak ku bergumul pikiran ragu. Ragu jika semuanya akan berjalan lancar. Ragu jika aku bisa berkomunikasi lancar dengan Raga, selancar aku berkomunikasi dengan kakaknya. Aku juga ragu untuk menggunakan tabungan ku sepanjang perjalanan di Jogja. Must be so much money I should spend!
            “Kamu sudah selesai?” Jiwa membuyarkan pikiran ku.
            “Oh, iya. Aku sudah selesai.” Jawab ku cepat dengan menjauhkan mangkuk mie dari hadapan ku dan meletakkan sumpit di atas nya.
Malam itu aku membayar bon mie dengan uang Jiwa. Malam ini rasanya campur aduk. Mungkin aku menaruh suka pada Jiwa. Malam ini aku berharap untuk bertemu dengan Jiwa di malam-malam yang lain.
*****
Aku berdiri di barisan antrian loket karcis kereta api. Tinggal menunggu dua orang di depan ku. Sembari aku menunggu antrian, sesekali aku mencuri pandang ke arah jam 10 dari tempat ku berdiri. Disana tengah berdiri Raga dengan dua tas sedang di dekat kakinya. Dia tengah menikmati bermain game online dengan ponsel pintarnya. Dengan eraphone disumpalkan di kedua telinganya, dia menggoyang-goyangkan kakinya. Dia benar-benar pandai menikmati hidup. Gumam ku.
Ada rasa kesal menyelinap di hati ku sesudah aku mendapatkan tiket untuk aku dan Raga. Aku kesal karena aku gagal naik pesawat untuk yang pertama kali. Raga bilang dia tidak suka naik pesawat. Jadi sebagai orang yang lebih berumur, aku mengalah untuk memilih transportasi darat ini lagi. Dia pasti ingin menjadi Harry Potter yang pergi ke dunia lain dengan kereta. Bedanya Harry Potter menembus tembok dan naik kereta lawas klasik, sedang aku, mengantri hampir satu jam untuk mendapat tiket naik kereta ekonomi.  Gerutu ku dalam hati.
Aku juga kesal karena sesaat setelah aku memberikan tiket ke Raga dia hanya melenggang cantik meninggalkan tas bawaan ku. rasanya aku ingin meneriaki dia dan melempar tas ku ke arah nya, namun sisi kedewasaan ku menahan ku untuk melakukan hal yang cukup memalukan bagi wanita berumur 25 tahun di stasiun kereta api yang pagi itu sudah cukup ramai.
Kekesalan ku yang lain adalah saat aku dan Raga sudah masuk ke dalam kereta. Dengan santainya di memilih tempat duduk di dekat jendela yang sudah aku dambakan saat menunggu datangnya kereta. Ingin rasanya aku melotot padanya dan menyuruhnya pindah. Namun lagi-lagi sisi kedewasaan ku berbisik untuk tidak perlu membuang-buang tenaga ku untuk hal sekecil itu. Apa lagi wajah Jiwa terbayang setiap aku ingin marah pada adiknya. Mungkin ini yang disebut pengorbanan cinta. Gumam ku bahagia.
Sudah hampir setengah jam kereta kami meninggalkan stasiun. Selama itu juga tidak ada percakapan antara aku dan Raga. Hanya sebuah pertanyaan dari ku yang tidak disambut hangat olehnya hingga membuat ku trauma untuk kembali melontarkan pertanyaan pada nya. Aku bertanya tentang hobinya. Dan dia hanya menjawab kalau dia tidak memiliki hobi. Sudah. Titik. tidak ada senyum ramah tau pertanyaan balik kepada ku. benar-benar berbeda dengan kakanya yang sangat ramah, baik, dan pengertian. Baiklah, aku mulai membandingkan dia dengan kakaknya. Aku mulai benci diri ku sendrii karena telah menilai bocah SMA di samping ku ini negativ. Mungkin aku hanya perlu tidur agar pikiran negativ tak makin beranak di otak ku. Tidur. Tidur. Tidurrrrrr
****
Seseorang menggoyang – goyang bahu ku dan aku tersentak dari tidur ku. Seorang petugas kereta memberitahu ku jika kereta sudah sampai di stasiun terakhir. Dia juga memberi tahu jika seseorang tengah menunggu ku di pintu keluar. Dengan jari telunjuknya petugas yang sudah agak tua itu mengarahkan pandangan ku pada seseorang yang berdiri di dekat pintu keluar. Sendirian.
Itu Raga.
****
Aku sudah keluar ari kereta dengan menjinjing kedua tas bawaan ku. Raga berdiri tak jauh dari tempat ku berdiri.
            “Aku rasa kita melewatkan stasiun desa nenek mu.” Aku sudah tak tahan untuk bersikap seolah semua nya baik-baik saja. Aku mulai menggerutu. Bicara sendiri dan mengumpat.
            “Elo masih punya duit?” tak di sangka Raga membuka mulut dan yang keluar dari mulutnya adalah tentang duit.
            “Masih. Kenapa? Kau ingin membeli tiket lagi?”
            “Pengen beli rokok. Rokok ku ketinggalan di kererta.”
            “Hah?!! Heh! Kamu tu mikir. Sekarang kita lagi salah jalan. Bukannya cari ide biar kita bisa ke tempat nenek mu, malah mau ngrokok. Dasar!” akhirnya amarah ku meluap. Umur ku memang tak bisa menjamin kesabaran ku.
Selepas meluapkan amarah ku, aku menatap tajam ke arah Raga. Namun dia tak bergeming untuk meminta maaf atau sekedar menunduk bersalah. Dia malah berjongkok lalu mengupas permen dan mengulumnya santai.
Aku putus asa dengan Raga. Aku mengambil ponsel ku, berniat menghubungi Jiwa. Bertanya solusi yang bisa aku lakukan saat ini. Namun sial kembali memihak pada ku. ponsel ku mati. Harapan ku mati.
            “Setan.” Ucap ku lirih. Sesaat aku mendengar Raga terkekeh. Entah hal lucu apa yang sedang terlintas di benaknya. Yang jelas berkali-kali aku menarik nafas. Mencoba menenangkan diri.
            “Aku pinjam ponsel mu.” Pinta ku dingin tanpa senyum pada Raga yang sedang bermain game pesawat-pesawatan di ponsel nya.       
Tanpa berpikir, Raga memberikan ponsel nya begitu saja pada ku. aku cukup kaget dengan respon cepat nya memberi ku ponsel. Tanpa bertanya. Tanpa curiga.
            “Emmm, nama kontak kakak mu apa?” tanya ku pada Raga sambil membuka list kontak di ponselnya.
            “Gak tau. Coba liet aja di panggilan masuk.” Jawabnya santai.
Aku cukup kaget dan bingung dengan jawabannya. Namun aku tidak punya waktu untuk bertanya lebih tentang kronologi nama kakaknya di ponselnya. Aku segera membuka  list panggilan masuk di ponselnya. Hanya ada satu nomor. Aku pastikan ini nomor Jiwa.
Aku sudah terhubung dengan nada tunggu saat Raga mengatakan Kakak nya tidak akan mengangkat telpon. Dia tak menyebutkan alasan kakaknya tidak mengangkat telponnya.
Benar. Telpon ku tak diangkat. Tiga kali aku mencoba menghubungi, namun tetap tak diangkat.
            “Kau tahu kakak mu kemana? Kenapa dia tidak angkat telponnya?”
            “Gak tau. Gue bukan CCTV nya.”
            “Hish. Dasar.” Gerutuku.
Kami saling diam. Suasana di stasiun sudah sepi karena saat itu sudah pukul 9 malam. Hanya beberapa petugas kereta yang hilir mudik memastikan jika tidak ada penumpang yang tertinggal di kereta. Sesekali mereka menanyai kami, namun dengan sok gagah, aku bilang pada mereka jika kami tidak apa-apa. Dan aku menyebutkan jika Raga adalah adik ku.
            “Kamu laper? Ayo, cari makan.” Aku membawa tas ku menuju restaurant terdekat.
***
Raga dan aku sudah duduk di sebuah warteg pinggir jalan.
            “Kau pengen apa?” tanya ku pada Raga yang duduk di depan ku.
            “Rokok.” Jawabnya singkat.
            “Haishh. Ok. Ok. Asal kamu makan, nanti kita beli rokok.”
            “Sop.”
            “Sop apa?”
            “Sop.”
            “Hish.”
***
Dua sop ceker ayam beserta nasi putih dan dua gelas teh hangat sudah ada di meja kami. Aku segera mencampur nasi ke dalam sop ceker ayam ku. Dengan penuh semangat aku mengisi perut ku yang sudah 12 jam tak terisi apa pun. Hanya air putih dan angin stasiun.
            “Kalau pengen rokok, cepat habisin sop mu.” Perintah ku pada Raga.
Dengan terpaksa dia memasukkan kuah sop beserta gerutuan ke mulut nya.
            “Seharusnya kamu bilang kalau gak suka ceker ayam.” Ucap ku tegas di sela aku memasukkan makanan ke dalam mulut ku. “Sayang kalau dibuang.”
            “Abis gue ngabisin sop  ini, elo bakal kasih duit kan?”
            “Habis sampai bersih, baru nanti aku kasih duit.”
            “Gue gak ngerti apa yang bikin elo mau menemani gue jauh jauh ke tempat nenek. Makasih.” Raga menjejalkan sop dan nasi putih ke dalam mulutnya buru-buru.
            Aku tertegun mendengar bocah tengil di depan ku mengucapkan terimakasih. “Pelan-pelan. Nanti keselek.” Perintah ku.
            “Gak papa.”
            “Peeeelan peeelaaan!!” Aku memaksa.
Raga memperlambat gerakan makannya. Saat itu aku merasa dia anak yang baik dan penurut. Senyum mengembang di wajah ku yang sudah hampir punah hari ini.
            “Awalnya aku pikir kamu gak bakal mau pergi bareng aku.” ucap ku santai.
Sejenak Raga berhenti memakan sop nya. Aku pikir dia akan merespon kalimat ku. tapi yang dia lakukan hanya diam.
“Suka sayur?” tanya ku.
Raga hanya menggeleng.
            “Suka game?”
Dia mengangguk.
            “Suka naik kereta?”
Dia mengangguk.
            “Suka tinggal di kota?”
Dia menggeleng.
            “Kangen nenek mu?”
Dia mengangguk.
            “Kenapa waktu itu kamu ngambil uang ku?”
Dia tak menggeleng atau menganggk. Dia mendongak menatap ku. Entah ekspresi apa yang ada di matanya saat itu. Meledek ku?
            “Kamu pasti gak tahu kalau kakak  mu sayang banget sama kamu. ucap ku santai.
Raga kembali menatap wajah ku. Sebisa mungkin aku menghindari sorot matanya yang tampak tak wajar.
            “Elo pengen jadi istri Jiwa?” Raga bertanya.
Aku terdiam mendengar pertanyaan nya. Aku tak berpikir tentang pernikahan dengan Jiwa sebelumnya.
            “Elo mau kalok Jiwa ngajak elo nikah?” kembali Raga menanyakan sebuah pertanyaan yang pelik. Tidak bisa sembarangan aku jawab dengan anggukan atau dengan gelengan. Aku baru mengenal Jiwa satu minggu yang lalu. Dan saat ini aku bersama adiknya yang tengah penasaran soal hubungan ku dan kakaknya.
            “Emang kamu setuju kalok aku nikah sama kakak mu?” Aku bertanya balik.
            “Gue rasa elo orang baik. Sayangnya Jiwa bukan orang baik. Jadi menurut gue elo berdua gak cocok.”
Aku diam. Bingung dengan kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Raga, adik Jiwa.
            “Elo bakal hidup sendirian meski elo bareng sama dia. Jiwa tu ngebosenin banget. Gak asik. Gak bisa diajak seneng-seneng” Tambahnya.
Aku menarik nafas panjang sebelum menanggapi ocehan Raga tentang kakak nya. Aku membutuhkan oksigen lebih untuk bisa menenangkan otak ku yang mulai mendidih mendengar kata-kata Raga. Memastikan kalimat yang akan aku ucapkan tidak akan menjadi sebuah penyesalan.
            “Heh. Asal kamu tahu, Aku udah lama hidup sendiri. Jadi gak masalah kalau nanti kakak mu ngebosenin dan  Lagi pula Aku rasa kakak mu orang yang hangat. Aku rasa kakak mu sayang banget sama kamu. Dia diam-diam merhatiin kamu. Dia coba memenuhi kebutuhan mu. Dia coba baik-baik saja dengan semua masalah yang kamu bikin di luaran sana. Termasuk ngambil uang dari orang asing kayak aku. Entah karena aku sudah cukup tua, atau memang kamu yang terlalu muda untuk mengerti perjuangan hidup. Tapi kakak mu bekerja sampai malam gak Cuma buat dia. Tapi buat kamu juga. Aku rasa dia terlalu banyak ngasih kamu kasih sayang sampek lupa buat kasih kamu pelajaran. Kayak yang sekarang aku lakuin. Kamu tu terlalu fokus sama kesusahan mu. Manja.
Aku mencubit pipi Raga kuat hingga dia meronta kesakitan dan meminta ku untuk melepaskannya. Bekas cubitan ku tampak jelas di pipi kirinya. Aku tersenyum puas.
            “Aku rasa pertemuan kita itu takdir Tuhan biar kamu sadar kalau kamu gak lagi baik-baik. Kamu perlu merubah hidup mu Bung!” ucap ku keras setelah itu menyeruput kuah sop dari mangkuk ku habis.
            “Gue harap Jiwa cepetan nikahin elo. Jadi gue bisa lihat elo ngrasain yang gue rasain. Elo bakal manja kayak gue.” Raga tersenyum penuh arti pada ku yang aku balas dengan tatapan menantang.
            “Coba aja kamu rayu kakak mu buat cepetan nikahin aku. Jadi aku bisa buktiin ke kamu kalau hidup ku akan baik-baik setelah nikah sama kakak mu.”
Kami saling menatap. Menantang.
Malam itu hujan turun cukup deras. Kami pergi ke penginapan terdekat. Tak lupa kami membeli satu bungkus rokok.
***
            “Jiwa ngrokok gak?” tanya ku pada Raga yang tengah menghisap rokoknya di dekat jendela kamar yang malam ini kami sewa.
            “Enggak.”
            “Jam berapa dia pulang kerja?”
            “Gak tau. Pas gue pulang maen, dia masih duduk di kursi kerjanya”
            “Kalau bangun jam berapa?”
            “Gak tau. Pas gue berangkat ke sekolah, udah ada sarapan di meja makan, sama uang jajan. Dianya sih udah ngilang.”
            “Dasar serba gak tau. Pasti kamu di kelas duduk paling belakang.” Ucap ku sambal menguap lebar.
Ada dua tempat tidur di kamar kami. Aku sudah membungkus tubuh ku di balik selimut. Bersiap memejamkan mata.
            “Elo udah pengen tidur?” suara Raga terdengar menyedihkan.
            “Hem.” Aku sudah coba memejamkan mata ku.
            “Gue gak kepengen ketemu nenek.”
Mata ku terbuka lebar. Semacam kaget mendengar kalimat Raga.
            “Kenapa?!” aku bangun dari posisi tidur ku.
            “Kasihan nenek. Nanti dia pasti bakal nangis pas nganter gue pulang. Gue mau punya rumah sendiri dulu baru nanti gue jemput nenek buat tinggal bareng gue.” Raga tampak sangat serius dengan kata-katanya.
Aku hanya bisa diam mendengar mimpi besar bocah tengil itu. Tak tahu harus memberi nasehat apa sebagai seorang yang jauh lebih tua darinya namun tak memiliki uang untuk aku berikan padanya guna membeli rumah yang ia maksud.
            “Elo pernah pacaran?” Raga bertanya pada ku, yang tengah memikirkan jumlah uang di tabungan ku.
            “Hah? Pacar? Enggak.” Jawab ku gagap.
            “Jiwa juga gak pernah punya.”
            “Sok tahu.”
            “Tiap cewek yang deket sama dia pasti bakal jadi cewek gue.”
            “Hish! Amit-amit. Dasar kurang ajar.”
            “Eits! Siapa yang amit-amit sama kurang ajar? Gue mah gak pernah maksa cewek-cewek itu buat jadi pacar gue. Ceweknya aja yang mau an.”
            “Ya enggak lah. Cewek itu mau kalok ada yang godain. Kamu tu suka godain cewek orang.”
            “Berarti kalau gue godain elo, elo bakal mau jadi pacar gue?”
            “Wuah! Bener-bener nglunjak ni bocah.”
            “Mau?”
            “Ya enggak lah!” jawab ku mantap sambil melotot.
            “Biasa aja dong. Gak usah kayak nenek sihir mau nglodeh sayur.”
            “Heh! Kamu tu harus sopan sama aku. Aku kan lebih tua dari kamuuuu!”
            “Elo tu harus sayang sama gue. Elo kan lebih tua dari gue.”
            “Ha?” aku bingung dengan kalimat Raga barusan. Seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokan ku hingga membuat ku tak bisa membalas ucapan Raga. Entah bagaimana caranya, tapi kalimat Raga mengingatkan aku tentang pelajaran PPKN jaman SD yang isi nya tentang hormat pada yang tua, sayang pada yang lebih muda.
Aku menarik nafas panjang.
            “Gak jadi tidur? Besok Jiwa jemput kita.” Ucap Raga sembari mematikan puntung rokok di selipan jarinya nya.
            “Hah? Besok Jiwa jemput kita?”
            “Gak usah mendadak budek dehhh. Manja.” Ledek Raga.
            “Ishhh, siapa yang pura-pura budek?? Orang aku Cuma memastiin aja kalau aku gak salah denger kok.”
            “Ya itu namanya pura-pura budek.”
            “Enggak! Dan lagian siapa juga yang manja. Terus, dari mana kamu tau kalau Jiwa bakal jemput kita? Dia mau naik kereta juga?”
            “Udahlah. Cewek emang selalu bener. Tidur gih.”
Raga menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Dia memunggungi ku. enggan menggubris pertanyaan ku. Rasanya aku ingin melempar bantal ke arah nya. Saking kesalnya. Kesal karena aku merasa kata-kata Raga semua benar. Aku pura-pura budek. Aku manja mendengar nama Jiwa disebut.
****
 Samar terdengar suara percakapan dari ranjang tempat ku tidur. Aku mencoba membuka mata, mencari tahu apakah hari sudah pagi. Tidak ada cahaya matahari masuk dari celah jendela kamar hotel ku. aku bersendawa. Angin kereta semalam masih tersisa di perut ku.
Ranjang di sebelah ku sudah kosong. Raga sudah bangun, pikir ku. tapi kemana? Gumam ku sambil membersihkan jetet di mata. Saat aku akan bangkit dari ranjang ku untuk mencari Raga, suara derap lagkah mendekat dari arah suara percakpan yang tadi samar aku dengar. Aku terkesiap. Kaget dan takut. Apakah itu orang jahat? Gumam ku dalam hati.
            “Hai.” Dari lorong pintu masuk Jiwa muncul. Dengan membawa dua kantong plastik putih di kedua tangannya. “Maaf ya, udah ganggu tidur mu. Pasti kamu masih ngantuk banget. Kata Raga kalian baru tidur jam satu an.” Jiwa meletakkan bawaannya di meja kecil dekat jendela tempat Raga menghabiskan rokoknya semalam.
            “Ah, iya. Gak papa.” Aku melihat jam dinding di kamar menunjukkan pukul 4 pagi. “Semalem aku bener-bener kaget pas Raga bilang kamu bakal dateng. Aku pikir dia Cuma bercanda.” Aku terkekeh malu. Aku mencoba membenahi keadaan rambut ku yang kupastikan tidak dalam keadaan baik-baik saja setelah tidur hampir 3 jam.
            “Kalau ngigau gak usah keras-keras. Gak bisa tidur gue.” Dari arah pintu masuk Raga muncul dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke ranjang ku.
            “Hah?! Aku ngigau??? Masak??? Ah, enggak ahhhh!!!.” Seperti kejatuhan palu. Aku kaget dan kesal dengan celetukan Raga di depan kakaknya. Pasti dia mau bikin image ku hancur di depan kakak nya. Dasar licik.
            “Gak papa lah ngigau. Mungkin faktor kecapek an.” Jiwa membela ku.
Seperti ada angin sepoi yang segera memadamkan api amarah di dada ku saat aku mendengar kata-kata penyejuk dari mulut Jiwa. Dia memang lelaki amat sangat baik dan pengertian. Pagi subuh itu aku makin jatuh cinta pada nya.
            “Aku bawa ayam goreng sama air mineral. Aku pikir kalian lapar.” Jiwa duduk di kursi kayu dekat meja temapt dia meletakkan bawaanya yang ternyata ayam goreng dan air mineral itu. Tanpa membuang waktu aku segera beringsut dari tempat ku berdiri menuju salah satu kursi di dekat meja, bersebelahan dengan Jiwa. Aku terus menatap Jiwa yang tengah membuka bungkusan ayam.
            “Jangan diliet terus. Bosan ntar.” Kembali Raga menghadiahi celetukan gak penting yang membuat ku salah tingkah. Karena Jiwa yang tadinya sedang fokus membuka isi plastic bawaannya langsung menatap ku yang masih tekun menatapnya.
Ketahuan telak sedang menatap seseorang yang kita sukai namun belum tahu apa orang itu suka ke kita balik itu serasa bangun dari tempat duduk lalu celana kita sobek kesangkut paku di kursi itu. Maluuuuuuu.
            “Ada yang anehya di muka ku?” Jiwa bertanya dengan kelembutan suaranya.
            “Gak ada yang salah. Cewek di depan elo tu cuma lagi nunggu elo nglamar dia.” Dengan santai sambil rebahan Raga berbicara, memberikan kesimpulan gilanya.
            “Apa??!!!!” aku reflek kesal dengan Raga. Aku melotot padanya.
            “Emang iya ya?” Jiwa bertanya.
Dia benar-benar bodoh apa pura-pura bodoh pikir ku.
            “Kamu mau jadi istri ku?” Tanpa ada lilin. Tanpa sebuket bunga mawar merah atau putih. Tanpa ada kamera yang mengabadikan momen indah itu, Jiwa mengatakan kalimat yang ditunggu tunggu semua wanita di dunia itu. 
Aku tertegun. Tak lagi melotot kesal. Aku melotot kaget dengan kalimat yang baru saja diucapkan Jiwa. Lelaki pujaan hati ku. Perlahan aku merasakan ada rasa haru yang menelusup di hati ku. Entah perasaan apa ini.
            “Udah. Terima aja. Mumpung ada gue.” kalimat Raga barusan merusak momen haru yang berhasil aku bangun antara aku dan Jiwa. Emang kenapa kalau gak ada dia pas Jiwa nglamar aku? Tanya ku dalam hati.
            “Iya. Mumpung ada Raga sebagai saksi. Jadi kamu gak bisa batalin kalau udah setuju. Kalau kamu nolak Raga bakal nangis loh.” Kembali Jiwa membesarkan hati ku dengan kata-kata manisnya.
            “Ogah nangis gara-gara cewek elu.” Raga bangkit dari ranjangnya, lalu bergegas keluar kamar. Meninggalkan Jiwa dan aku di ruangan itu.
            “Aku senang Raga nyaman sama kamu.” Jiwa tersenyum pada ku. “Nih.” Dia memberiku sepotong ayam goreng.
            “Aku pikir Raga gak nyaman banget sama aku. Kami sering cekcok.” Aku mengambil potongan ayam pemberian Jiwa.
            “Aku pikir dia nyaman sama kamu. Tapi kalau kamu ngrasa gak nyaman sama dia, gak papa. Pelan-pelan nanti dia juga nurut.”
Aku menatap Jiwa yang tegah memotong ayam untuknya sendiri.
            “Kenapa ngliet aku kayak gitu? Jadi kamu mau jadi istri ku kan?” dengan santai Jiwa menanyakan hal sakral itu. Lagi.
Aku menarik nafas dalam. Mengumpulkan pemikiran tersehat ku untuk menjawab tawaran itu.
            “Boleh. Mau kapan?” aku menyutujui tawaran Jiwa. Aku tersenyum tipis.
            “Kamu mau yang lama atau yang cepet?”
            “Cepet.”
            “Sewa gedung?”
            “Gak usah. Di halaman belakang rumah ku aja.”
            “Gaun?”
            “Beli jadi aja. Ngirit.”
Jiwa terkekeh. Lagi-lagi aku tak tahu hal lucu apa yang membuatnya terkekeh.
            “Cincin mau mas putih atau kuning?” Tanya Jiwa.
            “Putih. Polos kalau boleh.”
            “Boleh. Mahar?”
Aku diam. Berpikir. Aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.
            “Rumah?” Tanya Jiwa.
Aku menggeleng.
            “Uang tunai?”
Aku menggeleng.
            “Badan mu?” aku bertanya. Meminta persetujuan Jiwa tentang mahar yang aku ingin kan.
Kembali Jiwa terkekeh.
            “Kamu bakal jual organ tubuh ku kalau nanti kita gak punya uang?” Tanya Jiwa dengan tawa kecilnya.
            “Hem?” aku masih tidak punya jawaban  untuk pertanyannya itu. Aku juga tidak tahu dari mana otak ku mendapat ide mahar itu. Aku tidak pernah terpikir rencana menjual organ tubuh Jiwa sampai tadi Jiwa mengatakannya pada ku.
            “Ok. Deal. Minggu depan kita nikah. Di taman belakang rumah mu. Besok kita beli baju dan cincin. Aku yang akan urus ketring dan sewa tenda nya juga. Kamu mau ke salon?” Jiwa bertanya di akhir penjelsannya yang panjang lebar seputar konsep pernikahan kami.
            “Enggak. Aku bakal make up sendiri.”
            “Ok. Berarti sore ini kita balik terus ketemu orang tua mu ya?”
            “Ok.”
Aku dan Jiwa saling melempar senyum.
“Coba ramal kita berdua?” tantang ku pada Jiwa.
“Aku gak bisa ngeramal.”
“Loh, pas pertama kita ketemu kamu bisa ngeramal kok.  Kamu ngeramal soal kerjaan, tanggal lahir aku sama soal ayam.” Aku heran.
“Aku Cuma ngamatin. Aku bisa tahu kerjaan sama tanggal lahir mu itu dari ID card yang gantung di leher mu. Terus soal ayam, waktu itu ada kupon bonus ayam di dalem tas mu. Aku liet pas kamu ngambil barang-barang mu jatoh. Jadi aku gak bisa ngeramal.” Senyum Jiwa mengiringi penjelasannya.
Aku hanya bisa menatap Jiwa curiga. Kebohongan macam apa lagi yang dia sembunyikan.
“Kok nglietin aku nya gitu? Kamu gak mau nikah sama aku karena aku gak bisa ngramal?”
Aku menggeleng.
“Terus?” Tanya Jiwa lembut.
“Lain kali kalau mau bohong kasih kode ya, biar aku gak bingung. Gak suka dibohongin.”
Jiwa tersenyum pada ku. Sebuah senyum kesepakatan. Kesepaktan yang belum tahu akan berakhir indah atau sebaliknya. Kami sama-sama menunggu untuk tahu hasil kesepakatan itu.
            “Nih.” Jiwa kembali memberikan potongan ayam pada ku.  “Aku seneng liet kamu makan.”
Kami saling melempar senyum.
****
Minggu pagi. Aku sudah berbalut gaun putih panjang polos dan sebuket bunga mawar merah ada di genggaman ku. Baru saja Ibu keluar dari kamar ku. Setelah memastikan jika calon pengantin wanita tidak kelaparan atau kehausan menunggu pukul kedatangan calon pengantin lelakinya.
Aku menatap cermin meja rias di depan ku. Bedak tipis, eyeliner hitam di pelupuk mata dan lipstick merah senada dengan buket mawar ku menghiasi wajah ku. Aku akan mengakhiri kesendirian ku. Akan ada teman dalam rumah kesendirian yang selama ini aku bangun. Aku harap dia bisa menyalakan api dalam diriku hingga membuat ku hangat. Lebih hangat dari sebelumnya. Aku harap semua berjalan lancar sesuai rencana ku.
Seseorang mengetuk pintu kamar ku. Ibu masuk ke dalam kamar ku dengan membawa secarik kartu ucapan biru pastel. Warna kesukaan ku.
            “Rombongan pengantennya udah dateng. Ini tadi ada kasih titip ini ke Ibu.” Ibu memberikan kartu ucapan itu kepada ku lalu segera bergegas ke luar kamar ku. Dia tampak sibuk dan bahagia.
Buru-buru aku membuka kartu ucapan itu. Terdapat pesan di dalamnya. Aku terdiam setelah membaca pesan itu.  



Hello my first love…

                                    Raga

             

THE END
            ~~~~~~ Rasa tak bisa kau rancang nak. Nikmati dan hargai.     


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEMAN LAMA

 Sendiri sudah biasa, tapi kesendirian luar biasa. Bisa membuat mati rasa.  Aku tengah memeluk guling di atas ranjang kamar ku dan fokus dengan tontonan di televisi saat sebuah panggilan dari nomor yang sudah lama tidak menghubungi ku. Sejenak aku diamkan panggilan itu. Memastikan jika panggilan itu bukan salah pencet atau semacamnya. Hampir 10 detik aku diamkan dan panggilan itu masih meminta untuk diangkat.      "Halo." jawab ku pelan.      "Hi! Apakabar?" ucap suara di seberang.     "Sehat. Ada yang bisa aku bantu?" tanya ku ragu.     "Yup. Aku butuh bantuan mu. Aku boleh ke rumah mu?"      "Aku lagi gak di rumah."     "Terus dimana?"     "Di Jogja."     "Kerja?"     "Yup."     "Ok. Besok aku ke Jogja ya nemuin kamu."     "Emang kamu lagi dimana sekarang?"     "Jakarta."     "Lah. Kamu mau ada kerjaan di Jogja?"     "Enggak. Aku ke Jogja mau ketemu k

10 CARA SKOR IELTS TINGGI

Berikut adalah beberapa tips untuk mempersiapkan diri menghadapi tes IELTS: 1. Pahami Format Tes Kenali empat bagian dalam tes: Listening, Reading, Writing, dan Speaking. Pahami jenis pertanyaan dan durasi waktu untuk setiap bagian. Berlatihlah dengan materi resmi IELTS agar terbiasa dengan formatnya. 2. Tingkatkan Keterampilan Bahasa Inggris Listening: Latih pendengaran Anda dengan mendengarkan berbagai aksen bahasa Inggris (British, Australian, American). Dengarkan podcast, tonton film berbahasa Inggris, dan catat poin-poin penting. Reading: Baca berbagai teks dalam bahasa Inggris, seperti koran, artikel akademis, dan buku. Latih teknik skimming dan scanning untuk mencari informasi. Writing: Latih menulis esai, surat, dan laporan dalam batas waktu yang ditentukan. Fokus pada struktur, koherensi, dan penggunaan kosakata yang bervariasi. Speaking: Latih berbicara bahasa Inggris setiap hari. Rekam diri Anda untuk mengevaluasi pelafalan, kelancaran, dan ketepatan. Pertimbangkan un

100 VOCAB BUAT JAGO BAHASA INGGRIS

  Nouns (Kata Benda) Time (Waktu) Example: I don't have enough time. Saya tidak punya cukup waktu. Year (Tahun) Example: This year has been very challenging. Tahun ini sangat menantang. People (Orang-orang) Example: Many people attended the event. Banyak orang menghadiri acara tersebut. Way (Cara) Example: This is the best way to solve the problem. Ini adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Day (Hari) Example: I will see you the day after tomorrow. Saya akan menemui Anda lusa. Man (Pria) Example: The man over there is my uncle. Pria di sana adalah paman saya. Thing (Benda/hal) Example: What's that thing on the table? Apa benda itu di atas meja? Woman (Wanita) Example: The woman in red is a famous actress. Wanita berbaju merah itu adalah aktris terkenal. Life (Hidup) Example: Life is full of surprises. Hidup penuh dengan kejutan. Child (Anak) Example: The child is playing in the park. Anak itu bermain di taman. World (Dunia) Example: She wants to travel the